Suntiang, Rumah Makan Padang Gaya Jepang

Agus Surono

Penulis

Suntiang, Rumah Makan Padang Gaya Jepang
Suntiang, Rumah Makan Padang Gaya Jepang

Intisari-Online.com - Salah satu kiat berbisnis adalah menjadi yang berbeda. Jika sudah ada produk sejenis, mengikuti bisa mati. Makanya, menjadi berbeda ditempuh supaya konsumen melirik. Seperti restoran masakan minang berikut ini. Memasukkan nuansa Jepang dalam restoran Padang. Jangan khawatir, tetap nendang!

Suntiang bukan restoran Minang biasa. Tidak ada mangkuk berisi air kobokan, tidak pula ada pelanggan yang berteriak, "tambuah ciek lai!" Yang tersedia di meja adalah sumpit dan aneka masakan Minang yang disajikan ala sushi. Begitulah, restoran ini menyodorkan pengalaman makan nasi padang dengan gaya Jepang.

Piring-piring berisi aneka makanan cantik itu berkeliling bersama ban berjalan di sushi bar Restoran Suntiang di Pondok Indah Mall 2, Jakarta Selatan. Ada sepiring ”sushi” dengan seiris daging putih dan setitik saus berwarna oranye. Kami meraih satu piring menu yang kami kira sushi tuna. Namun, begitu kami santap, menu itu ternyata nasi-ayam pop lengkap dengan sambal yang gurih.

Di piring lain, terhidang nasi pulen lengket digulung nori—lembaran rumput laut hijau—dengan sejumput daging di atasnya dan beberapa butir wijen. Kami mengira menu itu sushi unagi yang dimasak matang. Ketika sampai di lidah, ternyata menu itu adalah nasi-rendang. Ada pula sushi dengan topping yang kami kira telur ikan. Setelah dimakan ternyata menu itu tidak lain nasi pulen berbalut nori, ber-topping teri balado.

Begitulah, gambaran sushi yang terbentuk lewat pandangan mata seketika terhapus ketika lidah justru menemukan cita rasa Minang. Hasilnya adalah sebuah kejutan yang menyenangkan. ”Rupo Japang, raso tetap Minang,” bisik seorang tamu yang baru pertama kali ke Restoran Suntiang, pekan lalu.

Sebaliknya, Suntiang juga menyajikan masakan Jepang dengan selera Minang. Cobalah semangkuk ramen dengan kuah oranye mengilap dan menggugah selera. Begitu kuahnya sampai di lidah, kita langsung menemukan cita rasa gulai yang gurih. Ada pula ramen yang kuah misonya dibubuhi cabai hijau. Di luar itu, ada sederet menu Jepang yang dimasak ala Minang seperti edamame balado, tempura otak, dan kepala salmon kuah gulai.

Makan di Suntiang, kita seperti diajak untuk mencicipi suasana yang berasal dari dua tradisi berbeda. Pengelola Suntiang cukup serius menghadirkan nuansa Minang sekaligus Jepang. Nama Suntiang yang terdengar sangat Minang ditulis dengan huruf bernuansa Jepang. Pramusaji mengenakan atasan bernuansa Jepang dengan bawahan bercorak songket minang. Meja makan ditata seperti di restoran Jepang dengan piring-piring berwarna polos, sendok-garpu, dan sumpit. Dengan sumpit itulah kami makan sushi-ayam pop.

Tetap Minang

Untuk lidah yang ”maniak” dengan cita rasa Minang, hidangan ala Suntiang masih bisa diterima meski disajikan seperti makanan Jepang. ”Cita rasa Minang tetap kita pertahankan dan terasa dominan. Masakannya tetap kaya bumbu dan rempah seperti masakan Minang umumnya,” ujar Maulana dari Humas Suntiang.

Mari kita lihat bahan-bahan makanan yang digunakan Suntiang. Bahan seperti daging yang merupakan bahan utama alam kuliner Minang untuk menu seperti rendang dan dendeng balado masih merupakan bahan yang terbanyak digunakan. Begitu pula dengan daging ayam untuk menu ayam pop, ayam gulai, dan ayam bakar. Bumbu-bumbu yang paling banyak sama seperti restoran Minang lainnya adalah bumbu gulai dan cabai merah keriting.

Meski begitu, bukan berarti menu makanan di restoran ini bebas dari bahan dan bumbu yang biasa dipakai restoran Jepang. Asisten Chef Suntiang Delly Adhiguna mengatakan, cita rasa Jepang hadir lewat nori, mayonnaise, dan nasi sushi yang lengket, bukan nasi aur atau pera yang biasa digunakan di restoran Minang.

”Nah, semua itu dipadukan menjadi sushi. Kalau di menu sushi Jepang, nasi dipadu dengan daging ikan segar, di sini kami padu dengan lauk khas Minang,” kata Delly.

Bumbu pendamping yang biasa terdapat di meja-meja restoran Jepang seperti wasabi dan acar jahe merah tak ada di atas meja Suntiang. Meski begitu, pramusaji Suntiang akan menyodorkan wasabi jika pelanggan meminta. ”Kami sengaja tidak menyediakan wasabi di meja karena rasa wasabi sangat menantang, sementara masakan Minang sendiri sudah kaya bumbu,” sambung Maulana.

Untuk mendapatkan rasa masakan Minang yang otentik, kepala koki dan asisten kepala koki berguru selama satu bulan lamanya di dapur sebuah restoran Minang milik salah satu pendiri Suntiang. Kebetulan satu dari tiga pemilik Suntiang berasal dari Solok, Sumatera Barat. Para koki yang berdarah Jawa Timur serta Madura lantas mengamati rasa, warna, dan tekstur makanan Minang.

”Kami belajar langsung di kampung dengan resep keluarga. Kami mengaduk rendang berjam-jam, tidak berhenti. Berat sekali membuat masakan Minang,” ujar Delly.

Dari hasil berguru, para koki yang tidak ada satu pun berdarah Minang itu, kemudian berkreasi dan mengembangkan menu, memadukan unsur tradisi kuliner Minang dengan masakan Jepang.

Menurut Maulana dan Delly, masakan Minang dan Jepang memiliki satu persamaan, yakni mudah diterima beragam lidah. Rumah makan Minang mudah ditemui di berbagai pelosok di Indonesia dan di luar negeri. Sebaliknya, kuliner Jepang sudah lama hadir di kota-kota besar di Indonesia. Kedua masakan itu memiliki banyak penggemar.

Restoran Suntiang pun hadir di sebuah mal besar di selatan Jakarta, tempat beragam budaya dan cita rasa berkumpul. Suntiang bersanding dengan deretan restoran tetangga yang bercita rasa ragam negara, mulai dari Italia, Amerika, Korea, hingga Jepang.

”Para pendiri restoran ini berpikir, jika mendirikan restoran Minang, sudah banyak pesaingnya. Jadi, mereka membuat pasar baru dengan menggabungkan masakan Minang dengan masakan Jepang,” kata Maulana.

Begitulah, di Restoran Suntiang, tradisi kuliner Minang seperti mempersunting tradisi kuliner Jepang. Tambuah ciek? Haik! (Indira Permanasari/Budi Suwarna/Kompas.com)

Restoran SuntiangPondok Indah Mall 2Jakarta Selatan