Intisari-Online.com - Nasi jagung beberapa orang tahu. Tapi kalau botok yuyu? Yuyu (Parathelphusa convexa) atau kepiting air tawar ini ternyata dapat diolah menjadi makanan yang kaya sensasi gurih.
Untuk menikmati menu khas Pati itu, baiklah kita mengarah ke Warung Nasi Jagung Botok Yuyu di Desa Tambahmulyo, Kecamatan Gabus. Warung milik Sukahar (33) itu berada di Jalan Gabus-Pati, Kilometer 1, yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Terminal Induk Pati.
Selain menu utama nasi jagung dan botok yuyu, ada menu tambahan seperti peyek wader, sayur lompong, pepes keong sawah, pepes udang sungai, dan peso bungkus daun mengkudu. Semua berbau ndeso. Namun soal rasa tak bikin kuciwo.
Nasi jagung terbuat dari jagung yang ditumbuk atau digiling hingga menjadi tepung. Setelah dicuci, tepung jagung diberi sedikit air dan dikukus, kemudian ditaruh di atas tampah untuk diangin-anginkan sebentar.
Begitu sudah tidak panas dan menggumpal, tepung tadi diberi air lagi ditambah garam dan daun pandan secukupnya kemudian dikukus lagi. Garam dan daun pandan itu memberikan cita rasa gurih pada nasi jagung.
Menurut Sukahar, nasi jagungnya dibuat tanpa pengawet dan konon dipilih dari jagung-jagung yang ditanam secara organik. Sedangkan botok yuyu merupakan menu utama yang disandingkan dengan nasi jagung.
Sukahar mendapatkan yuyu-yuyu itu dari para petani atau warga yang memanfaatkan waktu senggangnya mencari ikan, udang, dan yuyu di sawah dan rawa-rawa. Yuyu yang baru didapat itu tidak langsung diolah menjadi masakan, tetapi diinapkan dulu di kolam air tawar selama lebih kurang 2-3 hari. Tujuannya untuk mensterilkan yuyu dan mengurangi bau amis. Setelah itu, yuyu-yuyu itu dicuci, cangkang dibuka untuk diambil sari-sari dagingnya. Daging itu kemudian dimasak dengan bumbu botok mlanding (petai cina).
Berbungkus daun pisang, botok yuyu itu memiliki kekhasan, baik dari sisi tampilan maupun rasa. Di dalam botok terdapat potongan cangkang yuyu yang nikmat dicecap. Rasa sari-sari daging yuyu mirip rasa kepiting, berbaur dengan rasa gurih dan sedikit agak pedas.
Sukahar membuka warung kecil dari bambu di depan rumahnya pada 2005. Waktu itu modalnya Rp1 juta. Seiring berjalannya waktu, pembeli dan pelanggan semakin banyak.
”Warung baru itu saya beri ikon warung abad XVI karena bernuansa pedesaan,” katanya.(HENDRIYO WIDI/Kompas.com)