Intisari-online.com - Perang Dunia II adalah konflik global yang melibatkan hampir seluruh negara di dunia pada tahun 1939-1945.
Salah satu kawasan yang menjadi medan perang adalah Asia Pasifik, di mana Jepang berusaha untuk menguasai wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam, termasuk Hindia Belanda (Indonesia).
Pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa di Hindia Belanda tidak tinggal diam dan berusaha mempertahankan wilayahnya dari serangan Jepang.
Namun, apakah upaya Belanda berhasil menghalau Jepang?
Bagaimana pertempuran-pertempuran sengit yang terjadi antara kedua pihak?
Dan apa dampaknya bagi nasib Hindia Belanda dan pergerakan kemerdekaan Indonesia?
Pada tahun 1940, Jepang beraliansi dengan Jerman dan Italia yang merupakan negara-negara fasis di Eropa.
Ketiga negara ini membentuk Blok Poros yang bertentangan dengan Blok Sekutu yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, Perancis, Belanda, dan beberapa negara lainnya.
Jepang, yang mengobarkan perang Pasifik atau Perang Asia Timur Raya, memiliki ambisi untuk menciptakan "Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya" yang berarti menguasai seluruh Asia dan Pasifik.
Untuk itu, Jepang membutuhkan sumber daya alam yang melimpah, seperti minyak bumi, karet, dan timah, yang banyak terdapat di Hindia Belanda.
Belanda, yang merupakan salah satu anggota Sekutu, menentang kehadiran Jepang di Asia Tenggara.
Baca Juga: Kisah Letnan Fusata Iida, Pelopor Aksi Kamikaze dalam Serangan Pearl Harbor
Belanda juga membekukan seluruh aset Jepang yang ada di Hindia Belanda, sebagai bentuk sanksi atas agresi Jepang di China.
Jepang merespons dengan memperkuat pangkalan militer mereka di Indocina (Asia Tenggara) dan menyerang Pearl Harbor, pangkalan militer Amerika Serikat di Hawaii, pada tanggal 7 Desember 1941.
Serangan ini segera diikuti oleh invasi Jepang ke Filipina, Myanmar, Hong Kong, Thailand, dan Semenanjung Malaya.
Pada bulan Januari 1942, Jepang mulai menyerang Hindia Belanda, dengan mendarat di Kalimantan dan Sulawesi.
Jepang juga berhasil mengalahkan armada laut Sekutu dalam Pertempuran Laut Jawa pada tanggal 27 Februari 1942, yang membuat Pulau Jawa terputus dari bantuan luar.
Pada tanggal 1 Maret 1942, Jepang mendarat di tiga titik di Pulau Jawa, yaitu Banten, Indramayu, dan Kragan.
Pasukan Jepang yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Hitoshi Imamura bergerak cepat menuju ibu kota Batavia (Jakarta), sambil mengalahkan pasukan Belanda yang berjumlah sekitar 80.000 orang.
Pemerintah Hindia Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Tertinggi Hein ter Poorten memutuskan untuk mempertahankan Pulau Jawa sekuat tenaga.
Mereka juga berharap adanya bantuan dari Sekutu, terutama Amerika Serikat.
Namun, harapan itu pupus ketika Komandan Pasukan Gabungan ABDACOM (Amerika Serikat, Britania, Belanda, dan Australia) Archibald Wavell memindahkan markas besarnya ke India dan menyatakan bahwa Pulau Jawa tidak dapat dipertahankan lagi.
Wewenang untuk mempertahankan Jawa pun jatuh sepenuhnya ke tangan Belanda.
Baca Juga: Misteri Kerajaan Medang, Dari Mataram Kuno hingga Medang Kamulan
Pasukan Belanda yang mundur dari Batavia dan Bogor mempersiapkan garis pertahanan di perlintasan gunung menuju Bandung, yang merupakan kota terbesar kedua di Jawa.
Salah satu titik pertahanan yang penting adalah Perlintasan Ciater, yang memiliki peranan strategis dalam upaya pertahanan kota Bandung.
Di sini, pasukan Belanda yang berjumlah sekitar 9.000 orang, yang terdiri dari tentara, polisi, dan sukarelawan, berhadapan dengan pasukan Jepang yang berjumlah sekitar 3.000 orang, yang dipimpin oleh Kolonel Toshinari Shōji.
Pertempuran Perlintasan Ciater berlangsung dari tanggal 5 hingga 7 Maret 1942.
Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Jacob Pesman dan Kolonel W.J. de Veer berusaha untuk menghentikan laju pasukan Jepang yang menuju Bandung.
Pasukan Belanda juga mendapat dukungan dari pesawat-pesawat tempur dari Angkatan Udara Britania Raya.
Namun, pasukan Jepang yang memiliki keunggulan dalam hal kualitas prajurit, persenjataan, dan dukungan angkatan udara, berhasil menembus garis pertahanan Belanda yang kekurangan personil dan persediaan.
Pasukan Jepang juga menggunakan taktik gerilya dan infiltrasi untuk mengacaukan pertahanan Belanda.
Setelah tiga hari pertempuran, pasukan Belanda terpaksa mundur dari Perlintasan Ciater dan kembali ke Bandung.
Pasukan Jepang terus mengejar pasukan Belanda hingga ke Lembang, yang merupakan kota kecil di utara Bandung.
Di sini, pasukan Belanda membuat benteng terakhir untuk melindungi Bandung.
Namun, pada tanggal 8 Maret 1942, pasukan Jepang berhasil merebut Lembang dan mengancam untuk mengebom Bandung jika pasukan Belanda tidak menyerah.
Pada saat yang bersamaan, di Kalijati, Subang, Jawa Barat, terjadi perundingan antara pihak Jepang dan Belanda.
Pihak Jepang diwakili oleh Letnan Jenderal Hitoshi Imamura dan Kolonel Toshinari Shōji, sedangkan pihak Belanda diwakili oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Tertinggi Hein ter Poorten.
Perundingan ini berlangsung di sebuah hanggar di Lapangan Udara Kalijati, yang sebelumnya direbut oleh Jepang dari Belanda.
Hasil perundingan ini adalah penyerahan tanpa syarat pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang.
Perjanjian ini ditandatangani oleh kedua pihak pada pukul 10.30 pagi.
Dengan demikian, perang antara pemerintah Hindia Belanda dan Jepang di Pulau Jawa berakhir.
Jepang berhasil menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda dalam waktu kurang dari tiga bulan.
Pemerintah kolonial Belanda yang telah berkuasa selama lebih dari 300 tahun di Indonesia pun runtuh.
Jepang menggantikan Belanda sebagai penguasa baru di Indonesia, dengan membawa slogan "Asia untuk Asia" dan "Tiga A" (Asia Raya, Asia Berdaulat, Asia Sejahtera).
Namun, apakah Jepang benar-benar membawa kemakmuran bagi Indonesia? Ataukah Jepang hanya mengganti tirani Belanda dengan tirani baru?
Pertempuran sengit antara pemerintah Hindia Belanda dan Jepang di Pulau Jawa memiliki dampak yang besar bagi sejarah Indonesia.
Pertama, pertempuran ini menunjukkan bahwa Belanda bukanlah penguasa yang abadi dan tak terkalahkan.