Kekeringan dan kebanjiran yang menerpa Jakarta tidak bisa dipungkiri akibat berubahnya lingkungan tempat tinggal warga. Hilangnya beberapa situ serta semakin luasnya tutupan daerah resapan membuat air hujan mengalir begitu saja tanpa meresap ke tanah. Akibatnya, saat hujan terjadi banjir sementara musim kemarau cadangan air di dalam tanah tidak ada. Warga Jakarat dapat mengurangi dampak tadi dengan - salah satunya - membuat sumur resapan.
Memiliki rumah sendiri tentunya dambaan setiap orang, apalagi bagi pasangan muda. Begitu pula yang terjadi dengan Anto dan Ani, pasangan yang baru dikarunia dua putra balita ini. Setelah hampir lima tahun menjadi kontraktor (maksudnya mengontrak rumah), pasangan muda itu mulai berharap dapat memiliki sebuah rumah. Mungil tak jadi soal, yang penting milik sendiri.
Mereka tidak begitu menyukai komplek perumahan meski dari segi fasilitas dan keamanan lebih bisa diandalkan. Trauma Ani yang dibesarkan di sebuah komplek perumahan yang hubungan antarpenghuninya cenderung lu-lu gue-gue membuat ia berkeinginan mencari rumah di perkampungan. Membaur dengan penduduk setidaknya membuatnya lebih nyaman.
Setelah berkeliling ke berbagai lokasi di pinggiran Jakarta, tambatan pasangan ini jatuh ke Condet, daerah cagar budaya. Berbagai informasi mereka kumpulkan, namun banyak yang tidak berlanjut. Maklum, dana untuk mencari rumah itu berasal dari pinjaman kantor Anto yang tentu saja mensyaratkan kelengkapan surat. Sementara dari berbagai informasi yang diperoleh tadi sebagian besar tidak lengkap surat-suratnya.
Putus asa dengan tidak diperolehnya rumah yang sesuai, Anto dan Ani akhirnya mencari tanah kosong. Betapa gembira mereka ketika menemukan tanah kosong seluas sekitar 200 m2 yang sudah bersertifikat. Lokasi sekitar masih banyak pepohonan sementara tetangganya sepertinya juga ramah. Setelah melalui proses jual-beli melalui notaris, tanah kosong itu berpindah kepemilikian. Pasangan ini pun kemudian merancang rumah yang akan mereka tempati bersama kedua putra balita mereka.Empat sekawan musuh limbah.
Untuk membangun rumah Anto mengajukan kembali dana pinjaman ke kantor. Syaratnya, harus ada ijin mendirikan bangunan (IMB). Enggak masalah, aku bisa mengurusnya kok, begitu batin Anto. Ternyata pengurusan tidak semudah yang dibayangkan Anto. Ia tidak mengerti bahwa tanahnya berada di daerah yang masuk kategori cagar budaya. Meski peraturan itu sudah dikeluarkan sejak lama, namun sejauh ini belum ada peninjauan sehingga menurut Anto peraturan itu sudah tidak relevan lagi. Bagaimana tidak, dalam peraturan itu disebutkan bahwa bangunan yang boleh didirikan di atas sebidang tanah haruslah maksimal 20% luasnya. Sementara ia yang sudah berkeliling Condet menemukan hampir semua rumah di sini menyalahi aturan itu.
Anto akhirnya masuk ke lingkaran pungli dan birokrasi yang berbelit-belit. Ia terkadang begitu gemes sekaligus mangkel melihat kinerja aparat kecamatan tempat ia mengurus IMB. Untuk pekerjaan yang jelas-jelas sudah menjadi kewajibannya, petugas kecamatan meminta sejumlah uang. Jika tidak maka prosesnya akan dipersulit dan memakan waktu lama. Anto dilema, di satu sisi ia ingin segera memiliki rumah sendiri, di sisi lain ia ingin memberi pelajaran kepada aparat kecamatan yang tak punya nurani itu. Akhirnya ia mengambil jalan tengah dengan melakukan negosiasi. Ia memperoleh potongan sekitar 25% dari harga resmi. Setelah hampir tiga bulan, IMB itu pun keluar. Lega campur dongkol perasaan Anto. Namun perasaan itu dikesampingkan dulu karena ia berkonsentrasi pada rumah yang sebentar lagi akan diwujudkannya.
Atas bantuan teman sewaktu kuliah yang kini menjadi arsitek di Kota Bandung, Anto menumpahkan segala keinginan dan bayangan sebuah rumah idealnya. Ia benar-benar menaati aturan cagar budaya yang telah ditetapkan pemda Jakarta tentang kawasan Condet. Konsekuensinya ia harus membangun dua lantai. Ruang tamu dan ruang makan terpaksa ia keluarkan dan ditempatkan di teras depan dan belakang. Toh ia jarang menerima tamu, kalaupun ada umumnya keluarga dekat yang selalu ia terima di ruang keluarga selama ia mengontrak. Sedangkan ruang makan menurutnya mubazir karena mereka jarang makan bersama, kecuali hari libur. Sebagai gantinya ia membuat pantry yang dilengkapi dengan meja makan mini. Selain luasan maksimum, yang ditepati lainnya dari peraturan cagar budaya adalah membangun sumur resapan. Bahkan ia menambahkan satu bagian yang berhubungan dengan lingkungan: pengolah limbah.
Lo, memangnya Anto mau membangun industri rumahan, kok ada pengolah limbah segala?
"Lo, memangnya rumah tidak mengeluarkan limbah?" Anto balik bertanya.
Ya tentu saja setiap rumah membuang limbah. Namun 'kan sudah ada septic tank dan tukang sampah yang menanganinya. Benar! Namun, ada limbah yang luput dari perhatian kita dan lalu dengan entengnya kita membuangnya ke selokan. Padahal, jika diteropong lebih dekat, limbah ini berpotensi mengganggu lingkungan juga.
Mari kita tengok acara harian yang sering kita lakukan di dalam rumah, yakni mandi dan mencuci peralatan memasak. Nah, perhatikan baik-baik data berikut ini. Suhu limbah tadi itu umumnya berkisar antara 25oC dan 50oC. Jadi, berada di atas suhu normal. Lalu kekeruhan limbah rumah tangga (RT) juga cukup tinggi, sebanding dengan kadar bahan yang terlarut di dalamnya. pH limbah juga cenderung rendah, yang berarti bersifat asam. Sudah begitu, kadar oksigen terlarut limbah RT rendah. Belum dengan banyaknya kandungan bahan organik dan anorganik sehingga chemical oxygen demand (COD) limbah RT umumnya tinggi.
Itu belum seberapa. Masih ada nih senyawa lain dengan konsentrasi yang tinggi seperti ortofosfat, ferro, Cl, SO42-, amonia, nitrat, nitrit, Ca2+, dan Mn2+. Di alam ortofosfat itu musuh perairan karena merangsang pertumbuhan ganggang. Ferro tinggi dalam air akan menimbulkan kerusakan seperti pengaratan atau kerusakan pada porselen. Dalam keadaan nirhawa, sulfur yangd alam rumah tangga sebagian besar berupa SO42- dapat direduksi oleh bakteri menjadi H2S yang menimbulkan bau sangat busuk. Begitu pula dengan nitrat, nitrit, dan amonia. Nitrit bisa menganggu pengangkutan oksigen bila mencemari air atau makanan yang kita konsumsi, utamanya bayi. Sebab, nitrit memiliki kemampuan untuk mengikat hemoglobin darah. Sementara jika dipandang dari sudut biologis, limbah RT ini berpotensi membawa jazad renik yang dapat membahayakan kesehatan, misalnya bakteri E. coli.
Hi.... Ngeri juga ya. Padahal, rumah tangga 'kan banyak sekali. Jadi, bayangkan sendiri bagaimana tercemarnya lingkungan kita. Memang, kerusakan lingkungan galibnya terjadi secara pelan-pelan tanpa kita meyadarinya. Begitu kita terlena, alam pun mengamuk. Nah, sebelum mengamuk, ada baiknya kita menjaga agar limbah yang keluar tadi sudah dalam keadaan aman."Bagaimana caranya," tukas Ani.Sebenarnya banyak yang dapat kita lakukan. Salah satunya secara biologis dengan menggunakan tanaman air yang dikenal dengan istilah bioremediasi. Ada keuntungan lain yang bisa kita petik jika menggunakan metode ini: penghijauan (meski dalam skala yang kuuuueeecil sekali). Tak apalah.Caranya gampang kok. Tampung semua aliran air dari beberapa sumber tadi ke sebuah kolam kecil berukuran 2 x 2 x 1 m. Ukuran ini sesungguhnya tidak baku karena disesuaikan denan banyaknya limbah yang harus ditangani. Semakin banyak tentunya semakin besar dan dalam kolamnya. Di dalam kolam ini kemudian kita tanami dengan empat jenis tanaman air yakni teratai (Nymphaea firecrest), mendong (Iris sibirica), kiambang (Salvinia sp.), dan hidrila (Hydrilla verticillata).Nah, biarkan empat sekawan itu yang menangani limbah RT. Kiambang bertugas menetralisisr limbah yang mengapung di permukaan air karena seluruh bagiannya mengambang di air. Limbah yang mengendap akan dibekap oleh hidrilla yang seluruh bagian tanamannya berada di dasar kolam. Limbah yang mencoba menyelinap di bagian tengah akan ditumpas oleh duo teratai dan mendong. Sebuah hasil penelitian menyebutkan bahwa limbah RT yang sudah memperoleh perlakuan di kolam empat sekawan ini sudah memenuhi baku mutu air limbah.
Jika Anda tak yakin dengan hasil penelitian tadi, silakan uji sendiri dengan menebarkan ikan mas atau tawes ke kolam. Jika tidak ada yang mabuk, atau malah mati, berarti air sudah aman. Silakan saja dibuang atau dialirkan ke sumur resapan. Nah, ikan yang ada di kolam menjadi keuntungan lain dari metode ini. Mau dipelihara sampai tua monggo saja. Mau digoreng ya boleh-boleh saja.
Jangan dekat septic tank
Berhubung pekarangan rumah Anto masih luas ke belakang, maka air dari kolam bioremediasi itu dialirkan ke sumur resapan agar air tanah di sekitarnya selalu terjaga. Apalagi Pemda DKI sudah mengeluarkan peraturan daerah no. 17/1996 yang mewajibkan semua warganya untuk membuat sumur resapan.
Sumur resapan merupakan solusi termurah dan tercepat yang bisa diwujudkan. Tak perlu menunggu upaya Pemda yang mau merevitalisasi beberapa situ yang jumlahnya malah menyusut. Selain butuh biaya besar, beberapa situ sudah berubah menjadi areal permukiman atau pertanian. Di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi ada sekitar 54 situ yang sebagian besar kondisinya rusak atau berubah fungsi. Rusaknya situ itu terjadi akibat gulma dan pendangkalan sehingga fungsinya sebagai "lahan parkir air" terganggu.
Biaya membangun sumur resapan tidaklah besar. Soalnya kita hanya menggali tanah sedalam 3 m atau lebih, lalu diisi bebatuan, dan paling atas ijuk. Murah dan tidak sulit. Kalau sedikti bermodal, bisalah dibikin yang bagus dengan membuat tembok kerawang di setiap sisi sumur. Balitbang Permukiman dan Prasarana Wilayah (sekarang PU) sendiri mengeluarkan standar pembuatan sumur resapan ini (SNI: 032451991). Menurut SNI tersebut, ukuran sisi-sisinya 0,8 m hingga 1,4 m; diameter saluran masuk dan saluran pelimpahan (yang membuang kelebihan air yang tertampung di sumur resapan) 110 mm; kedalaman sumur 1,5 m hingga 3 m; dinding bata merah atau batako tidak berplester dengan ketebalan setengah bata dan campuran semen : pasir adalah 1 : 5; penutup menggunakan cor beton bertulang yang bisa dibuka tutup dengan ketebalan 10 cm, terbuat dari campuran 1 semen : 2 pasir : 3 kerikil; sedangkan bahan isian dari dasar ke atas adalah hancuran bata merah, berangkal, dan batu bulat ukuran sedang dengan ketebalan masing-masing 1/3 kedalaman sumur.
Banyak manfaat yang bisa dipetik dari pembuatan sumur resapan ini. Selain menambah tinggi permukaan air, sumur resapan juga menambah potensi air tanah. Akibat lainnya, mengurangi penyusupan air laut yang katanya sudah sampai di kawasan Sudirman, Jakarta. Kalau pembuatan itu ditaati oleh sebagian besar warga Jakarta, maka banjir besar yang pernah melumpuhkan Jakarta tahun 1996 niscaya tidak terjadi. Paling tidak enggak separah waktu itu. Soalnya, dengan banyaknya sumur resapan maka air hujan tidak langsung ngacir ke permukaan, tapi masuk ke liang tanah.
Nah, jika saat ini sedang membangun rumah seperti pasangan Anto dan Ani tadi atau pun memiliki pekarangan yang memungkinkan untuk membuat sumur resapan, segeralah mulai. Bagi pasangan Anto-Ani tentu lebih mudah membikinnya sebab bisa diletakkan di bawah bangunan. O, ya, penempatan sumur resapan ini sebaiknya jauh dari septic tank, minimal 10 m, agar bakteri yang berasal dari septic tank tidak merembes masuk ke dalam sumur resapan.