Di pulau ini, terdapat beberapa kerajaan yang menganut agama Islam sejak abad ke-15 Masehi.
Kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak hanya berperan dalam memajukan peradaban dan perdagangan di wilayahnya, tetapi juga berjuang melawan penjajahan asing yang mengancam kedaulatan dan kebebasan mereka.
Gowa-Tallo: Kerajaan Islam Pertama di Sulawesi
Gowa-Tallo adalah gabungan dari dua kerajaan yang berlokasi di Sulawesi Selatan, yaitu Gowa dan Tallo.
Kedua kerajaan ini awalnya beragama Hindu-Buddha, tetapi kemudian memeluk Islam pada tahun 1605 Masehi.
Gowa-Tallo menjadi kerajaan Islam yang sangat kuat dan berpengaruh di Sulawesi.
Salah satu tokoh terkenal dari Gowa-Tallo adalah Sultan Hasanuddin, yang bergelar Ayam Jantan dari Timur.
Sultan Hasanuddin adalah seorang penguasa yang berani dan cerdas.
Ia memimpin perlawanan melawan penjajah Belanda yang ingin menguasai wilayah dan kekayaan Gowa-Tallo.
Perjuangan Sultan Hasanuddin berlangsung selama 16 tahun, dari tahun 1653 hingga 1669 Masehi.
Namun, akhirnya Gowa-Tallo harus menyerah kepada Belanda setelah menandatangani Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 Masehi.
Perjanjian ini sangat merugikan Gowa-Tallo dan mengakhiri masa kejayaannya.
Bone: Kerajaan Islam yang Bersekutu dengan Belanda
Bone adalah salah satu kerajaan yang berada di Sulawesi Selatan.
Bone awalnya beragama Hindu-Buddha, tetapi kemudian beralih ke Islam pada tahun 1611 Masehi.
Peralihan agama ini dipengaruhi oleh pengaruh Gowa-Tallo yang telah lebih dulu memeluk Islam.
Bone menjadi kerajaan Islam yang cukup besar dan berpengaruh di Sulawesi.
Salah satu tokoh terkenal dari Bone adalah Arung Palakka, yang bergelar Sultan Ahmad Salahuddin.
Arung Palakka adalah seorang penguasa yang ambisius dan cerdik.
Ia memanfaatkan konflik antara Gowa-Tallo dan Belanda untuk memperbesar kekuasaan Bone. Ia bersekutu dengan Belanda dan membantu mereka mengalahkan Gowa-Tallo dalam Perang Makassar pada tahun 1666-1669 Masehi.
Namun, sekutu dengan Belanda tidak berlangsung lama.
Arung Palakka kemudian berselisih dengan Belanda karena merasa tidak dihargai dan diuntungkan.
Ia juga menghadapi pemberontakan dari rakyat dan bangsawan Bone yang tidak setuju dengan kebijakannya.
Arung Palakka meninggal pada tahun 1696 Masehi dan digantikan oleh putranya, La Tenritatta.