Saat Makan Siang Bareng Jokowi 3 Capres Pakai Batik Parang, Benarkah Tak Boleh Dipakai Sembarangan?

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Saat makan siang bersama Presiden Jokowi, tiga capres mengenakan batik dengan motif yang sama: batik parang. Benarkah ia batik terlarang?
Saat makan siang bersama Presiden Jokowi, tiga capres mengenakan batik dengan motif yang sama: batik parang. Benarkah ia batik terlarang?

Saat makan siang bersama Presiden Jokowi, tiga capres mengenakan batik dengan motif yang sama: batik parang. Benarkah ia batik terlarang?

Intisari-Online.com -Salah satu yang menarik dari jamuan makan siang Presiden Jokowi bersama tiga calon presiden (capres) adalah baju yang dipakai mereka.

Tiga capres terlihat mengenakan batik motif parang, sementara Presiden Jokowi mengenakan batik dengan motif berbeda.

Anies Baswedan tampak mengenakan batik motif parang dengan nuansa coklat tua dan putih.

Mirip dengan Prabowo yang mengenakan batik warna coklat muda dan coklat tua.

Sedangkan, Ganjar Pranowo tampil agak berbeda dengan mengenakan batik motif parang berwarna merah muda.

Jokowi selaku tuan rumah mengenakan batik yang memiliki motif lain dengan warna dasar putih dan motif warna biru.

Terkait batik yang dikenakan tiga capres, pengamat budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Prof. Dr. Bani Sudardi buka suara.

Dia bilang, motif batik parang merupakan motif yang menggambarkan ombak di laut selatan Yogyakarta yang mengenai tebing karang.

“Batik parang adalah satu motif batik yang terdiri dari gambaran ombak dan lokasi yang miring. Tempat ini menggambarkan ombak pada daerah Parangtritis yang bergunung-gunung serta miring,” ujarnya kepada Kompas.com, Rabu (7/12/2022).

Mengutip dari laman Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, motif batik parang termasuk motif batik tertua di Indonesia yang sudah ada sejak Kerajaan Mataram.

Nama parang berasal dari bahasa Jawa pereng yang berarti lereng atau tebing.

Nama tersebut mewakili motif batik parang yang menyerupai huruf S secara diagonal atau garis miring.

Susunan motif S tersebut saling berkesinambungan alias tidak terputus.

Batik motif parang memiliki sejumlah makna filosofis, salah satunya adalah bentuk penghormatan raja-raja Jawa kepada leluhurnya.

"Asal batik parang adalah pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, guna menghormati leluhurnya yakni Panembahan Senapati," katanya.

Bani menambahkan, motif batik parang merupakan simbol perjuangan Panembahan Senapati saat melakukan tirakat di pantai selatan Yogyakarta.

“Hingga akhirnya, Panembahan Senapati mendapatkan ilham dan keberanian untuk mendirikan Kerajaan Mataram,” imbuhnya.

Motif batik parang juga mengandung makna filosofis kedudukan raja.

Komposisi miring pada motif batik parang ini, menjadi lambang kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, dan kecepatan gerak.

Beragam makna filosofis motif batik parang tersebut, membuat pemakaiannya terikat dengan aturan-aturan tertentu.

Sehingga tidak semua orang boleh memakainya atau disebut sebagai awisan dalem di Keraton Yogyakarta.

Bani menjelaskan, motif batik parang merupakan batik yang khusus digunakan oleh para raja.

Oleh sebab itu, masyarakat umum tidak boleh sembarangan menggunakan motif batik parang utamanya saat berada di area keraton.

“Batik parang atau lereng dilarang digunakan masyarakat biasa karena merupakan batik yang dikhususkan untuk raja ketika berada di penghadapan,” ujarnya.

Dilansir laman kratonjogja.id, terdapat dua versi dalam pemaknaan motif parang.

Menurut Rouffaer dan Joynboll, motif ini berasal dari pola bentuk pedang yang biasa dikenakan para ksatria dan penguasa saat berperang.

Selain itu, kesatria yang mengenakan motif ini diyakini bisa mendapat kekuatan berlipat.

Dalam versi lain disebutkan bahwa motif parang diciptakan oleh Panembahan Senopati saat mengamati gerak ombak Laut Selatan yang menerpa karang di tepi pantai.

Dengan demikian, pola garis lengkungnya diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam, dalam hal ini yang dimaksud adalah kedudukan raja.

Sedangkan komposisi miring pada motif Parang ini juga menjadi lambang kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, dan kecepatan gerak.

Motif Parang sebagai batik larangan

Beberapa jenis batik dengan motif Parang ada yang masuk ke dalam batik larangan.

Batik larangan, atau di Keraton Yogyakarta disebut Awisan Dalem, adalah motif-motif batik yang penggunaannya terikat dengan aturan-aturan tertentu di Keraton Yogyakarta.

Sehingga tidak semua orang boleh memakainya.

Motif Parang Rusak adalah motif pertama yang ditetapkan sebagai batik larangan di Kesultanan Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1785.

Motif Parang dan variasinya kembali menjadi batik larangan yang sangat ditekankan di Keraton Yogyakarta pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939).

Penggunaannya secara khusus tertuang dalam “Rijksblad van Djokjakarta” tahun 1927 tentang Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Kraton Nagari Yogyakarta.

Ketentuan tersebut memuat aturan penggunaan batik larangan dalam nyamping/bebet dan kampuh/dodot.

Dalam nyamping/bebet, aturan penggunaan motif Parang sebagai batik larangan adalah sebagai berikut:

1. Motif Parang Rusak Barong 10 cm hingga tak terbatas hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.

2. Motif Parang Barong 10 – 12 cm hanya boleh dikenakan oleh putra mahkota, permaisuri, Kanjeng Panembahan dan istri utamanya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati dan istri utamanya, putra sulung sultan dan istri utamanya, putra-putri sultan dari permaisuri, dan patih.

3. Motif Parang Gendreh ukuran 8 cm hanya boleh dikenakan oleh istri sultan (ampeyan dalem), istri putra mahkota, putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentana, para pangeran dan istri utamanya.

4. Motif Parang Klithik ukuran 4 cm ke bawah hanya boleh dikenakan oleh putra ampeyan dalem, dan garwa ampeyan (selir putra mahkota), cucu, cicit/buyut, canggah, dan wareng.

Untuk pemakaian motif Parang sebagai kampuh/dodot aturannya adalah sebagai berikut:

1. Motif Parang Barong hanya boleh dikenakan oleh oleh sultan, permaisuri dan istri utama, putra mahkota, putri sulung sultan, Kanjeng Panembahan, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati, putra sulung sultan dan istri utamanya.

2. Kampuh Gendreh hanya boleh dikenakan oleh putra-putri sultan dari permaisuri dan garwa ampeyan, istri (garwa ampeyan), putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentono, istri utama para pangeran, dan patih.

3. Bebet Prajuritan (kain batik untuk kelengkapan busana keprajuritan), yang boleh mengenakan sama dengan ketentuan pemakaian kampuh.

4. Motif Kampuh Parang Rusak Klithik hanya boleh dikenakan oleh untuk istri dan garwa ampeyan putra mahkota.

Artikel Terkait