Intisari-Online.com – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan 14% wilayahnya menjadi ruang terbuka hijau (RTH) pada tahun 2010. Namun, niat baik ini dinilai berbagai pihak hanya sebagai program kosmetik dan tidak menyentuh persoalan lingkungan dan sosial. Padahal, kita bisa belajar dari beberapa taman kota di Eropa.
Konsep taman kota berubah seiring perubahan tata ekonomi dan politik. Sebagai contoh rancangan taman di masa Victoria (1837 - 1901). Filosofi yang mendasari rancangan taman pada masa itu adalah romantisme. Bahwa alam memiliki kekuatan untuk mengembalikan spirit manusia yang rusak oleh industri kapitalisme. Wujud fisik taman bergaya Victoria ini adalah sebuah taman yang dibatasi tanaman hijau yang tinggi dan lebat. Suasananya membuai yang duduk di dalamnya sehingga lupa bahwa mereka berada di kota industri yang berpolusi tinggi dan berwabah penyakit.
Generasi awal taman kota di Amerika Utara juga menggunakan elemen alam untuk menciptakan ruang-ruang sosial. Sayangnya, taman tidak menggunakan vegetasi dan karakter tanah di daerah asal. Danau, air terjun, dan sungai buatan dibangun dengan biaya perawatan tinggi.
Era pascafordisme (sistem sosial, perekonomian dan produksi di era akhir abad ke-20) diwarnai dengan kesadaran akan semakin rusaknya lingkungan. Pengadaan taman kota terutama bertujuan menghadirkan kualitas kehidupan kota. Maka perancangannya memperhatikan kekhususan lokasi, memanfaatkan vegetasi habitat setempat, serta menggunakan material lokal.
Liar
Taman kota di Eropa baru lahir dari kondisi turun drastisnya anggaran pemerintah. Taman kota dioperasikan dengan investasi swasta. Sedangkan pihak swasta hanya mau mengucurkan dana terbatas pada sarana rekreatif taman yang juga melahirkan keuntungan finansial. Hasilnya, taman dirancang tidak membutuhkan perawatan yang mahal. Sebagian besar tanaman pun dibiarkan tetap liar, siklus alam dijadikan perawatnya.
Keliaran taman bisa juga dimanfaatkan sebagai purifikasi tanah dan air yang terpolusi. Sebagai contoh taman Cultuurpark Westergasfabriek di Amsterdam, Belanda. Taman ini menghadirkan wetland yang merupakan habitat tumbuhan pemurni air kotor. Otomatis taman kota berfungsi sebagai “mesin pembersih” kota. Bandingkan jika harus menyediakan sarana konvensional pengolahan air limbah, berapa biayanya?
Daerah Ruhr di Jerman punya cerita lain. Dulu daerah ini merupakan darah tambang batubara dan baja yang kehilangan masa jayanya sejak 1950-an. Bagaimana caranya mengundang kembali datangnya modal dan penduduk yang pergi? Padahal lingkungan sudah rusak. Dengan melibatkan seluruh pemerintah kota di Ruhr, tercipta Program Emscher Landschaftspark 2010. Wujudnya berupa rantai hijau lintas kota. Konsep dasarnya, daerah Ruhr memandang persoalan ekonomi, sosial, dan ekologi sebagai suatu kesatuan.
Taman Kota Duisburg-Nord salah satu contohnya. Rel kereta barang dan cerobong asap tak perlu dimusnahkan; dibiarkan saja sebagai elemen taman, nanti ‘kan hancur sendiri oleh tanaman liar. Terdapat pula kanal khusus untuk air sungai yang tercemar, terpisah dari aliran air hujan yang relatif bersih. Air hasil purifikasi kemudian digunakan untuk fasilitas rekreatif. Dengan sendirinya biaya konstruksi taman dan fasilitas hiburan jauh berkurang.
Sama-sama untung
Di Milan, Italia, ada taman unik bernama Parco Nord. Taman ini bukan inisiatif pemerintah kota. Dulu masyarakat mendesak pemkot agar membeli tanah bekas kawasan industri seluas 250 hal untuk dijadikan ruang terbuka hijau. Lahan itu lalu dikembangkan sejak 1990. Sebagian besar dibiarkan ditumbuhi tanaman liar, lahan sisanya diberikan kepada beberapa komunitas untuk diolah menjadi kebun bunga dan sayuran. Pemkot bebas biaya perawatan, komunitas-komunitas masyarakat mendapatkan keuntungan.
Mengapa taman-taman kota di Jakarta tidak dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi sebagai “mesin pembersih” kota, membantu masalah air dan sanitasi kota? Jika saja ada taman kota Jakarta yang memiliki wetland, dapat menampung air hujan, dan memperbaiki tata air Jakarta! Perawatannya tidak memerlukan biaya tinggi, kok. Apalagi sektor informal juga menjadi masalah besar di kota Jakarta, mengapa tidak melibatkan mereka dalam pertanian taman kota? (Prathiwi Widyatmi Putri – Intisari)