Pemberontakan Kediri, Kisah Awal dari Munculnya Kerajaan Majapahit

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Kerajaan Singasari.
Ilustrasi - Kerajaan Singasari.

Intisari-online.com - Kerajaan Kediri adalah salah satu kerajaan Hindu-Buddha yang berdiri di Jawa Timur sejak abad ke-10 hingga abad ke-13.

Kerajaan ini mengalami masa kejayaannya pada masa pemerintahan Kertajaya, yang memerintah antara tahun 1200-1222 M.

Namun, ambisi Kertajaya untuk menjadi raja tunggal di Jawa dan menyamai kedudukan para Brahmana Hindu dan Buddha menimbulkan konflik dengan kelompok-kelompok agama tersebut.

Kertajaya juga melakukan tindakan-tindakan yang dianggap menghina agama, seperti membangun candi-candi yang tidak sesuai dengan ajaran Hindu-Buddha, memaksa para Brahmana untuk menyembahnya, dan menghapuskan upacara-upacara keagamaan.

Konflik antara Kertajaya dan kaum Brahmana memicu pemberontakan yang dipimpin oleh Ken Arok, seorang panglima perang dari Tumapel.

Ken Arok mendapat dukungan dari Arya Wiraraja, seorang adipati Madura yang juga merupakan Brahmana.

Ken Arok dan Arya Wiraraja berhasil mengumpulkan pasukan-pasukan dari berbagai daerah untuk melawan Kertajaya.

Pada tahun 1222 M, terjadi pertempuran besar antara pasukan Ken Arok dan pasukan Kertajaya di Ganter, dekat Mojokerto.

Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan Ken Arok dan kematian Kertajaya.

Dengan demikian, Kerajaan Kediri runtuh dan digantikan oleh Kerajaan Tumapel atau Singasari.

Ken Arok kemudian dinobatkan sebagai raja pertama Singasari dengan gelar Rajasa Sang Amurwabhumi.

Baca Juga: Akhiri Dominasi Pengaruh Hindu Di Sana, Ini Riwayat Singkat 6 Kerajaan Islam Di Kalimantan

Ia juga menikahi Ken Dedes, istri dari Tunggul Ametung, seorang adipati Janggala yang dibunuhnya dengan keris Mpu Gandring.

Ken Arok membangun ibu kota baru di Tumapel, dekat Malang.

Ia juga memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan daerah-daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Namun, pemerintahan Ken Arok tidak berlangsung lama.

Ia dibunuh oleh Anusapati, anak tirinya dari Ken Dedes, pada tahun 1227 M.

Anusapati menggantikan ayah tirinya sebagai raja kedua Singasari dengan gelar Wisnuwardhana.

Ia juga memindahkan ibu kota ke Kota Kapur, dekat Pasuruan.

Anusapati melanjutkan kebijakan ekspansi wilayah yang dilakukan oleh Ken Arok.

Ia berhasil menundukkan Bali, Lombok, Sumbawa, dan sebagian Sumatera.

Anusapati juga dikenal sebagai raja yang berbakti kepada agama Buddha.

Ia membangun beberapa candi Buddha, seperti Candi Jago dan Candi Kidal.

Baca Juga: Situs Karanganyar, Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya Penuh Daya Tarik

Anusapati meninggal pada tahun 1248 M dan digantikan oleh putranya, Ranggawuni.

Ranggawuni naik tahta sebagai raja ketiga Singasari dengan gelar Kertanegara.

Ia adalah raja terbesar dan terakhir Singasari.

Ia meneruskan politik ekspansi wilayah yang dilakukan oleh ayahnya.

Ia berhasil menaklukkan daerah-daerah di Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Semenanjung Malaya.

Juga menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara dan Asia Timur, seperti Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, Vietnam, dan China.

Kertanegara juga dikenal sebagai raja yang toleran terhadap berbagai agama.

Ia menganut ajaran Siwa-Buddha, yaitu pencampuran antara Siwaisme dan Buddhisme.

Ia juga menghormati agama-agama lain, seperti Islam dan Kapitayan (kepercayaan asli Nusantara).

Kemudian membangun beberapa candi yang mencerminkan keberagaman agama, seperti Candi Singasari, Candi Jawi, dan Candi Panataran.

Ia juga mengeluarkan prasasti yang mengatur hubungan antara raja dan rakyat, seperti Prasasti Kudadu, Prasasti Jatipasar, dan Prasasti Padang Roco.

Namun, kejayaan Kertanegara tidak berlangsung lama.

Pada tahun 1292 M, ia mendapat serangan dari Jayakatwang, adipati Kediri yang masih keturunan Kertajaya.

Jayakatwang memanfaatkan ketidakhadiran Kertanegara yang sedang mengirimkan bantuan kepada kerajaan-kerajaan sekutunya di Sumatera untuk melawan invasi Mongol.

Jayakatwang berhasil menyerbu ibu kota Singasari dan membunuh Kertanegara.

Dengan demikian, Kerajaan Singasari runtuh dan digantikan oleh Kerajaan Kediri.

Jayakatwang merasa puas dengan kemenangannya. Ia menganggap bahwa ia telah membalas dendam atas kematian leluhurnya, Kertajaya.

Ia juga menganggap bahwa ia telah mengembalikan kejayaan Kerajaan Kediri yang pernah hilang.

Namun, ia tidak menyadari bahwa ada ancaman baru yang mengintainya.

Ancaman itu datang dari Raden Wijaya, menantu Kertanegara yang berhasil lolos dari pembantaian Singasari.

Raden Wijaya kemudian meminta bantuan kepada pasukan Mongol yang dipimpin oleh Kaisar Kubilai Khan untuk melawan Jayakatwang.

Raden Wijaya berjanji akan tunduk kepada Mongol jika ia berhasil merebut kembali tahta Singasari.

Pasukan Mongol menyetujui permintaan Raden Wijaya. Mereka kemudian bersama-sama menyerang Kerajaan Kediri.

Pada tahun 1293 M, terjadi pertempuran besar antara pasukan Mongol-Raden Wijaya dan pasukan Jayakatwang di Daha, ibu kota Kediri.

Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan pasukan Mongol-Raden Wijaya dan penangkapan Jayakatwang. Dengan demikian, Kerajaan Kediri runtuh untuk kedua kalinya.

Raden Wijaya kemudian dinobatkan sebagai raja baru dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana.

Ia juga mendirikan kerajaan baru dengan nama Majapahit, yang berarti bunga maja yang pahit.

Ia memilih nama ini karena ia merasa bahwa perjuangannya untuk merebut kembali tahta Singasari penuh dengan kepahitan dan kesulitan.

Juga membangun ibu kota baru di Tarik, dekat Mojokerto. Ia kemudian mengusir pasukan Mongol yang ingin menagih janjinya untuk tunduk kepada mereka. Ia berhasil melakukannya dengan tipu muslihat dan strategi militer.

Dengan demikian, berdirilah Kerajaan Majapahit sebagai penerus Kerajaan Singasari.

Kerajaan ini kemudian menjadi salah satu kerajaan terbesar dan terkuat di Nusantara.

Kerajaan ini mengalami masa keemasannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, yang berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah panji Majapahit.

Kerajaan ini juga meninggalkan banyak peninggalan berupa candi-candi, prasasti-prasasti, kitab-kitab, seni-seni, budaya-budaya, dan tradisi-tradisi yang masih hidup hingga sekarang.

Artikel Terkait