Intisari-online.com - Kerajaan Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama yang berdiri di Nusantara, sekitar abad ke-13 hingga abad ke-16.
Kerajaan ini terletak di pesisir utara Sumatera, khususnya di wilayah Aceh Utara saat ini.
Kerajaan Samudera Pasai memiliki peran penting dalam sejarah Islam, baik di tingkat regional maupun internasional.
Menurut catatan sejarah, kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh Nazimuddin al-Kamil, seorang laksamana dari Mesir yang berasal dari dinasti Ayyubiyah.
Ia datang ke Nusantara pada tahun 1238 M untuk merebut pelabuhan Kambayat di Gujarat, India, yang merupakan pusat perdagangan antara Timur dan Barat.
Dalam perjalanannya, ia singgah di Sumatera dan mendirikan sebuah kerajaan di sana dengan nama Samudera, yang berarti laut dalam bahasa Sanskerta.
Nazimuddin al-Kamil kemudian mengangkat Marah Silu, seorang bangsawan setempat, sebagai raja pertama Samudera dengan gelar Sultan Malik al-Saleh.
Marah Silu adalah seorang penganut Hindu yang kemudian masuk Islam setelah bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW.
Ia juga menikahi putri dari kerajaan Perlak, sebuah kerajaan tetangga yang sudah lebih dulu menganut Islam.
Dengan demikian, kerajaan Samudera Pasai menjadi kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Perkembangan Kerajaan Samudera Pasai
Baca Juga: Takluk Di Tangan Sesama Anak Turun Airlangga Sendiri, Inilah Riwayat Kerajaan Jenggala
Kerajaan Samudera Pasai berkembang pesat sebagai pusat perdagangan dan penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara.
Kerajaan ini menghasilkan berbagai komoditas seperti sutra, kapur barus, dan emas.
Kerajaan ini juga memiliki mata uang sendiri yang terbuat dari emas dan perak, yang disebut dinar dan dirham.
Mata uang ini memiliki nilai tinggi dan diterima di berbagai negara.
Kerajaan Samudera Pasai juga menjadi tempat belajar dan beribadah bagi para ulama, sastrawan, dan musafir dari berbagai daerah.
Di sini terdapat banyak masjid, madrasah, dan pondok pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dan dunia.
Salah satu ulama terkenal yang pernah belajar di Samudera Pasai adalah Hamzah Fansuri, seorang sufi dan penyair yang dikenal sebagai bapak sastra Melayu.
Hubungan Kerajaan Samudera Pasai dengan Dunia Luar
Kerajaan Samudera Pasai memiliki hubungan diplomatik dan perdagangan dengan berbagai negara di dunia.
Kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya, seperti Mesir, Turki, Persia, India, dan Cina.
Kerajaan ini juga mengirimkan utusan dan duta besar ke beberapa negara tersebut untuk menjaga hubungan persahabatan dan kerjasama.
Baca Juga: Berkuasa Pada Abad ke-8 Inilah Sosok Raja Penguasa Kerajaan Mataram Kuno
Salah satu bukti hubungan kerajaan Samudera Pasai dengan dunia luar adalah catatan perjalanan Marco Polo dan Ibnu Battutah.
Marco Polo adalah seorang pedagang dan penjelajah asal Italia yang mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1292 M.
Ia menyebutkan bahwa rakyat Samudera Pasai sangat taat beragama dan rajin beribadah. Ia juga mengagumi kekayaan dan kemegahan kerajaan ini.
Ibnu Battutah adalah seorang musafir dan ahli geografi asal Maroko yang mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1345 M.
Ia menyaksikan bahwa kerajaan ini memiliki sistem pemerintahan yang baik dan adil.
Ia juga memuji keindahan dan kesuburan tanah Samudera Pasai.
Bahkan mengatakan bahwa Samudera Pasai adalah salah satu kerajaan Islam terbaik di dunia.
Peninggalan Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran dan keruntuhan pada abad ke-16, akibat serangan dari kerajaan Aceh dan Portugis.
Namun, kerajaan ini meninggalkan berbagai peninggalan yang masih dapat dilihat hingga kini.
Salah satu peninggalan yang paling penting adalah makam Sultan Malik al-Saleh, raja pertama Samudera Pasai, yang terletak di Desa Beuringen, Aceh Utara.
Makam ini merupakan bukti tertua tentang keberadaan Islam di Nusantara.
Selain itu, kerajaan Samudera Pasai juga meninggalkan warisan budaya dan sastra yang berpengaruh bagi perkembangan Islam dan Melayu di kawasan ini.
Salah satu warisan budaya yang masih dilestarikan adalah tari Seudati, sebuah tarian yang menggabungkan unsur-unsur Arab dan Melayu.
Salah satu warisan sastra yang masih dibaca adalah Hikayat Raja-raja Pasai, sebuah naskah yang menceritakan sejarah dan silsilah raja-raja Samudera Pasai.