Intisari-online.com - Operasi Trikora adalah sebuah operasi militer yang dilancarkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 19 Desember 1961 untuk merebut kembali Irian Barat (sekarang Papua) dari Belanda.
Operasi ini merupakan puncak dari konflik Indonesia-Belanda yang berlangsung sejak tahun 1949.
Ketika Belanda menolak untuk menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia sebagai bagian dari pengakuan kemerdekaannya.
Operasi Trikora melibatkan tiga tahap, yaitu: (1) pembentukan Komando Mandala sebagai komando tertinggi operasi, yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Suharto; (2) pengerahan pasukan darat, laut, dan udara ke wilayah Irian Barat; dan (3) pelaksanaan operasi militer, termasuk infiltrasi, sabotase, pemberontakan rakyat, dan serangan terbuka.
Dalam operasi ini, Indonesia mendapat dukungan dari Uni Soviet, yang merupakan salah satu sekutu utama Sukarno dalam politik luar negerinya.
Uni Soviet menyediakan bantuan militer berupa senjata, amunisi, pesawat tempur, kapal selam, dan sukarelawan.
Uni Soviet juga menggunakan pengaruhnya di Dewan Keamanan PBB untuk mencegah intervensi internasional terhadap operasi Indonesia.
Operasi Trikora berhasil memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963.
Namun, operasi ini juga menimbulkan dampak negatif bagi Indonesia, seperti meningkatnya ketegangan dengan negara-negara Barat, memperburuk kondisi ekonomi dan politik dalam negeri, dan menimbulkan konflik dengan kelompok-kelompok Papua yang menuntut hak-hak mereka.
Operasi Trikora juga menjadi salah satu faktor yang memicu peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965.
Setelah Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia, pemerintah Indonesia mengadakan sebuah pemilihan umum yang disebut Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 1969 untuk menentukan apakah rakyat Irian Barat ingin tetap bergabung dengan Indonesia atau tidak.
Pepera ini diawasi oleh PBB, namun banyak dikritik karena dianggap tidak demokratis dan manipulatif. Hanya sekitar 1.000 orang yang dipilih sebagai perwakilan rakyat Irian Barat, dan mereka dipaksa untuk memilih bergabung dengan Indonesia di bawah tekanan militer dan politik.
Hasil Pepera ini kemudian disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1969.
Pepera ini menimbulkan ketidakpuasan dan penolakan dari sebagian besar rakyat Irian Barat, yang merasa hak-hak mereka sebagai bangsa Papua tidak dihormati.
Mereka juga mengalami diskriminasi, eksploitasi, dan pelanggaran HAM oleh pemerintah Indonesia.
Beberapa kelompok Papua kemudian membentuk gerakan perlawanan bersenjata dan sipil, yang dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Free Papua Movement (FPM).
OPM/FPM berjuang untuk memperoleh kemerdekaan Papua dari Indonesia melalui berbagai aksi, seperti demonstrasi, protes, serangan, dan sabotase.
Konflik antara Indonesia dan Papua masih berlangsung hingga saat ini, meskipun telah ada beberapa upaya untuk mencari solusi damai.
Pada tahun 2001, pemerintah Indonesia memberikan otonomi khusus kepada Papua, yang memberikan hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya kepada rakyat Papua.
Namun, otonomi ini belum sepenuhnya diimplementasikan dan masih banyak persoalan yang belum terselesaikan.
Beberapa kelompok Papua masih menuntut hak untuk menentukan nasib sendiri melalui referendum yang adil dan demokratis.
Sementara itu, pemerintah Indonesia masih menganggap Papua sebagai bagian tak terpisahkan dari negara kesatuan Republik Indonesia.
Baca Juga: Bagaimana Cara Supaya Nilai-Nilai Pancasila Terhubung Dengan Peristiwa Harian Anda