Intisari-online.com - Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta.
Kota ini memiliki sejarah panjang dan penting dalam perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan.
Namun, tidak banyak orang yang tahu bahwa Surabaya pernah menjadi hadiah dari Pakubuwono II, raja Mataram kesembilan, kepada VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), sebuah perusahaan dagang asal Belanda yang beroperasi di Asia.
Pakubuwono II adalah raja Mataram kesembilan yang memerintah tahun 1726-1742 dan menjadi raja pertama Surakarta yang memerintah tahun 1745-1749.
Ia merupakan kakak dari Pangeran Mangkubumi (kemudian bergelar Hamengkubuwana I) dan paman dari Pangeran Sambernyawa (kemudian bergelar Mangkunagara I).
Pakubuwono II dikenal sebagai raja yang memiliki hubungan yang akrab dengan VOC.
Pada tahun 1740, ia menandatangani Perjanjian Giyanti, yang mengakui kedaulatan VOC atas wilayah-wilayah pesisir Jawa dan memberikan hak monopoli perdagangan kepada VOC.
Perjanjian ini juga membagi kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Surakarta dan Yogyakarta.
Pada tahun yang sama, terjadi peristiwa Geger Pecinan atau Tragedi Angke di Batavia.
Dalam peristiwa ini, ribuan orang-orang Cina di Batavia yang akan memberontak dibantai oleh VOC.
Mereka yang selamat dari pembantaian kemudian melarikan diri ke arah timur pesisir dan melakukan pemberontakan bersama-sama orang Jawa.
Pada awalnya, Pakubuwono II secara sembunyi-sembunyi turut membantu pemberontakan itu.
Namun karena kalah dan dukungannya kepada kaum pemberontak diketahui VOC, Pakubuwono II kemudian menyerah dan memilih berpihak kepada VOC.
Melihat sikap Pakubuwono II itu, rakyat Jawa kemudian kecewa. Kaum pemberontak yang kecewa kemudian mengangkat Raden Mas Garendi menjadi susuhanan (raja) Mataram baru dengan gelar Amangkurat V.
Raden Mas Garendi merupakan cucu dari Amangkurat III dan anti-VOC.
Perang Kuning
Konflik antara Pakubuwono II dan Amangkurat V berlangsung dari tahun 1740 hingga 1743 dan dikenal sebagai Perang Kuning.
Nama ini berasal dari warna kuning yang dipakai oleh pasukan Amangkurat V sebagai lambang kesetiaan mereka kepada raja Mataram yang sah.
Pada tanggal 30 Juni 1742, tentara Jawa-Tionghoa yang dipimpin Amangkurat V berhasil mengalahkan pasukan Pakubuwono II dan menguasai Keraton Kartasura.
Baca Juga: Ini 4 Hasil Bumi yang Mendukung Kehidupan Masyarakat Mataram Kuno
Pakubuwono II bersama keluarganya terpaksa melarikan diri ke Ponorogo, didampingi oleh Kapten Johan Andries van Hogendorff, seorang perwakilan VOC.
Di Ponorogo, Pakubuwono II meminta bantuan VOC untuk merebut kembali tahtanya dari Amangkurat V.
Ia bersedia memberikan apa saja kepada VOC asalkan ia bisa kembali menjadi raja Mataram.
Salah satu hal yang ia janjikan adalah menyerahkan wilayah pesisir utara Jawa, termasuk Surabaya, kepada VOC.
Penyerahan Surabaya
VOC menyanggupi permintaan Pakubuwono II dan mengirimkan pasukan untuk menyerang Kartasura.
Setelah beberapa kali pertempuran sengit, akhirnya pada tanggal 13 Februari 1743, Kartasura berhasil direbut kembali oleh pasukan VOC dan Pakubuwono II.
Amangkurat V melarikan diri ke Blitar dan kemudian ke Bali dengan sisa-sisa pasukannya.
Ia meninggal di Bali pada tahun 1756 tanpa pernah bisa kembali ke Jawa.
Untuk menepati janjinya, Pakubuwono II secara resmi menyerahkan Surabaya dan wilayah pesisir utara Jawa kepada VOC pada tanggal 11 November 1743.
Penyerahan ini dilakukan dengan cara menandatangani sebuah surat yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem van Imhoff.
Baca Juga: Sejarah dan Misteri Kyai Pleret, Pusaka yang Menjaga Kesultanan Mataram
Dalam surat itu, Pakubuwono II menyatakan bahwa ia memberikan Surabaya dan wilayah pesisir utara Jawa kepada VOC tanpa syarat dan tanpa batas waktu.
Ia juga mengucapkan terima kasih kepada VOC atas bantuan yang diberikan kepadanya.
Berikut ini adalah kutipan dari surat Pakubuwono II:
> "Kami, Susuhunan Pakubuwono II, raja Mataram, dengan ini menyatakan bahwa kami memberikan kepada VOC seluruh wilayah pesisir utara Jawa, termasuk Surabaya, Madura Barat, Blambangan, Rembang dan Jepara, beserta penduduk, tanah, bangunan, hutan, sungai dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Kami memberikan wilayah-wilayah tersebut kepada VOC tanpa syarat dan tanpa batas waktu. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada VOC atas bantuan yang diberikan kepada kami dalam merebut kembali tahta kami dari tangan Amangkurat V. Kami berharap agar VOC dapat menjaga dan memelihara wilayah-wilayah tersebut dengan baik dan adil."
Dengan penyerahan Surabaya dan wilayah pesisir utara Jawa, maka VOC semakin menguatkan kekuasaannya di Jawa.
VOC mendapatkan sumber pendapatan dari perdagangan rempah-rempah, gula, kopi, tembakau dan lain-lain yang berasal dari wilayah pesisir.
VOC juga mendapatkan keuntungan strategis dari Surabaya sebagai pelabuhan terbesar di Jawa Timur.
Surabaya menjadi pusat komando VOC untuk mengawasi dan mengendalikan wilayah timur Jawa hingga Bali.
Sementara itu, Pakubuwono II mendapatkan kembali tahtanya sebagai raja Mataram.
Namun, ia juga kehilangan banyak wilayah dan pengaruhnya sebagai raja.
Ia menjadi semakin bergantung kepada VOC dan harus tunduk kepada kepentingan VOC.
Pakubuwono II meninggal pada tahun 1749 dan digantikan oleh putranya yang bernama Pakubuwono III.
Ia dimakamkan di Astana Giribangun di Karanganyar.