Advertorial
Intisari-Online.com - Pembangunan berbasis alam merupakanupaya untuk membangun masa depan yang tangguh dan berkelanjutan, serta meningkatkan kualitas hidup umat manusia di masa kini dan masa depan.
Oleh sebab itu, generasi muda sebagai agen perubahan memegang peran penting untuk memahami dan mengaplikasikan pembangunan berbasis alam sejak dini.
Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) pun memanfaatkan rangkaian Festival Lestari 5sebagai kesempatan untuk merangkul anak muda untuk memahami peran mereka dalam pembangunan berbasis alam.
Hal itu diwujudkan melalui agenda diskusi bertajuk "Townhall Anak Muda" yang diselenggarakan pada Sabtu (24/6/2023) di Aula Rektorat Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FTIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Diskusi yang diselenggarakan LTKL bersamaGenerasi Lestari dan Pijar Foundation tersebut pun dihadiri oleh sekitar 100 mahasiswa.
Diskusi dibuka oleh Mardiah dari Hanna Indonesia. Mardiah membahas pentingnya generasi muda untuk menghadapi tantangan masa depan, mulai dari tantangan teknologi hingga keuangan.
"Kecerdasan buatan sedang menjadi pesaing utama manusia di segala sektor kehidupan, juga tantangan serius bagi angkatan kerja di masa depan. Oleh karena itu, mahasiswa harus bisa memenuhi dua hal, yaitu menjadi pintar dan pintar sekali," papar Mardiah.
Di saat yang bersamaan, kata Mardiah, kehidupan modern di masa depan juga akan menuntut manusia untuk kembali ke basic nature. Dalam hal ini, ekonomi lestari akan menjadi tren pembangunan di seluruh dunia.
"Sebagai digital native, mahasiswa mestinya tidak kesulitan mengisi peluang menjadi pemain penting dalam ekonomi lestari dengan memanfaatkan perangkat mobile yang ada di tangan masing-masing," lanjutnya.
Menurut Mardiah, anak muda di Kabupaten Sigi dan sekitarnya punya pengalaman yang menjadi modal sosial untuk menghadapi masa depan. Salah satunya, pengalaman menghadapi gempa dan likuifaksi pada 2018.
"Sesudahnya, dunia global dibayangi resesi ekonomi. Ini adalah modal sosial yang berharga, karena ternyata generasi muda di Sigi, mampu melewati dua hal tersebut," kata Mardiah.
Diskusi selanjutnya dipimpin olehMohamad Mas'ud dari Bank Sampah Mpanau yang membahas mengenai pengelolaan sampah.
Pria yang sudah berkecimpung di Bank Sampah sejak 2020 tersebut mengatakan, sampah merupakan barang bernilai dan bahkan bisa mendatangkan uang.
Menurut Mas'ud, volume sampah di beberapa desa padat penduduk bisa mencapai 200 ton per tahun.
"Dari bank sampah, saya bisa mengambil dua pelajaran.Pertama, menjadi bagian dari kelompok dan individu yang ikut berkontribusi menciptakan lingkungan hijau. Kedua, mendapatkan penghasilan," kata Mas'ud.
Sayangnya, selama dua tahun mengelola bank sampah, Mas'ud mengakui menemukan kendala dalam manajemen bisnis.
"Kendala kami adalah bagaimana sampah-sampah dikelola dengan pola bisnis yang baik,'' imbuhnya.
Diskusi pun diakhiri dengan pemaparan dariIrjik Abdul Gani selaku perwakilan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sigi. Ia menjelaskan, pembangunan lestari telah menjadi bagian integral dari kebijakan Pemkab Sigi.
"Dalam uraian programSatuan Kerja Perangkat Daerah teknis, kegiatan yang berorientasi pada pembangunan hijau dengan mudah dapat ditemukan," kata Irjik.
Usai diskusi, mahasiswa UIN Sigi pun didampingi Tim Pijar untuk melakukan diskusi terfokus (FGD). Mereka terbagi menjadi dua kelompok yang masing-masing akan membahas tentang dua topik berbeda, yaitu usaha bisnis lestari dan pengelolaan sampah.
Irjik mengatakan, aspirasi yang berkembang dalam diskusi terfokus tersebut akan menjadi aspirasi kaum muda Sigi yang akan disampaikan kepada otoritas setempat. Mayoritas aspirasi yang mengemuka pada diskusi tersebut adalah hasrat mereka untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat.