Intisari-online.com - Sultan Agung merupakan raja Mataram Islam yang menentang Belanda sampai akhir hayatnya.
Namun, setelah digantikan oleh Amangkurat I ia justru lebih dekat dengan Belanda bahkan memiliki hubungan baik dengan mereka.
amangkurat I adalah raja keempat Mataram yang berkuasa dari tahun 1646 hingga 1677.
Ia adalah anak dari Sultan Agung, raja Mataram yang terkenal dengan perjuangannya melawan Belanda.
Namun, tidak seperti ayahnya, Amangkurat I justru menjalin hubungan yang baik dengan Belanda dan memberi mereka izin untuk membangun benteng di wilayahnya.
Kebijakan ini menimbulkan kontroversi dan kritik dari banyak pihak, terutama dari para ulama, bangsawan, dan rakyat Mataram.
Menurut sejarawan M.C. Ricklefs, ada beberapa latar belakang mengapa Amangkurat I memilih untuk berkolaborasi dengan Belanda.
Pertama, ia ingin mendapatkan keuntungan ekonomi dari perdagangan dengan Belanda, terutama di bidang rempah-rempah dan tekstil.
Kedua, ia ingin mendapatkan perlindungan militer dari Belanda, terutama untuk menghadapi ancaman dari Makassar dan Banten.
Ketiga, ia ingin menunjukkan kewibawaannya sebagai raja yang berdaulat dan berhak untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Selain itu, ada juga faktor psikologis yang mendorong Amangkurat I untuk berkolaborasi dengan Belanda.
Baca Juga: Ki Ageng Pamanahan: Kalahkan Arya Penangsang, Babat Alas Mentaok, Lahirkan Raja-raja Mataram Islam
Menurut sejarawan Peter Carey, Amangkurat I memiliki kompleks inferioritas terhadap ayahnya yang dianggap sebagai raja besar dan agung.
Ia merasa perlu untuk membuktikan dirinya sebagai raja yang lebih baik dan lebih modern daripada ayahnya.
Salah satu caranya adalah dengan menjalin hubungan baik dengan Belanda, yang dianggap sebagai negara maju dan beradab.
Akibat kebijakan Amangkurat I
Kebijakan Amangkurat I untuk mengundang Belanda ke Mataram tidak berjalan lancar.
Banyak pihak yang tidak setuju dan merasa tersinggung dengan kebijakan ini.
Para ulama menilai bahwa Amangkurat I telah mengkhianati agama Islam dan menyerahkan diri kepada orang kafir.
Para bangsawan merasa bahwa Amangkurat I telah melemahkan kedaulatan Mataram dan mengancam hak-hak mereka.
Para rakyat merasa bahwa Amangkurat I telah meninggalkan tradisi leluhur dan menindas mereka dengan pajak-pajak tinggi.
Akibatnya, muncul berbagai pemberontakan dan konflik di dalam kerajaan Mataram.
Pemberontakan terbesar adalah Pemberontakan Trunajaya yang dipimpin oleh Pangeran Trunajaya dari Madura pada tahun 1674.
Baca Juga: Di Masa Panembahan Senopati, Mataram Islam Gagal Total Taklukkan Tuban
Pemberontakan ini berhasil merebut ibu kota Mataram di Plered dan mengusir Amangkurat I ke Tegal.
Amangkurat I kemudian meminta bantuan Belanda untuk mengembalikan tahtanya.
Namun, ia meninggal dunia sebelum sempat melihat kemenangan pasukan gabungan Mataram-Belanda atas Trunajaya pada tahun 1677.
Amangkurat I adalah raja Mataram yang memiliki kebijakan kontroversial untuk berkolaborasi dengan Belanda dan memberi mereka izin untuk membangun benteng di wilayahnya.
Kebijakan ini didasari oleh latar belakang ekonomi, politik, dan psikologis.
Namun, kebijakan ini juga menimbulkan dampak negatif berupa pemberontakan dan konflik di dalam kerajaan Mataram.
Amangkurat I akhirnya meninggal dunia dalam pelarian setelah kehilangan ibu kotanya kepada pemberontak Trunajaya.