Ketika Korupsi Dijadikan Sebagai Senjata Politik VOC untuk Menjatuhkan Bupati-bupati Nusantara

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - VOC
Ilustrasi - VOC

Intisari-online.com - VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Persatuan Perusahaan Hindia Timur adalah sebuah organisasi dagang yang didirikan oleh Belanda pada tahun 1602.

VOC memiliki hak monopoli perdagangan rempah-rempah di Asia, khususnya di Nusantara.

Selain itu, VOC juga memiliki kekuasaan politik dan militer yang besar, sehingga dapat mengintervensi urusan pemerintahan di daerah-daerah jajahannya.

Salah satu cara VOC untuk menguasai Nusantara adalah dengan menjalin hubungan dengan para bupati atau penguasa lokal.

VOC memberikan bantuan militer, perlindungan, dan imbalan kepada bupati-bupati yang bersedia bekerja sama dengan mereka.

Namun, VOC juga tidak segan-segan untuk menyingkirkan bupati-bupati yang menentang atau tidak patuh kepada mereka.

Salah satu senjata yang digunakan oleh VOC untuk menjatuhkan bupati-bupati Nusantara adalah dengan menuduh mereka melakukan korupsi.

Korupsi adalah sebuah praktik yang melanggar hukum atau etika dengan menggunakan kekuasaan atau jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok.

Korupsi dapat berupa penyalahgunaan dana, penyelewengan barang, suap, nepotisme, kolusi, dan sebagainya.

VOC sendiri tidak luput dari praktik korupsi.

Para pejabat VOC sering menyalahgunakan kekuasaan dan jabatan mereka untuk memperkaya diri sendiri dengan cara melakukan perdagangan gelap, mark up harga, membuat laporan palsu, menerima sogokan, dan sebagainya.

Baca Juga: VOC Tertipu Hoaks Harta Karun Emas Gunung Gede, 30 Ribu Petani Terusir Dari Tanahnya Demi Pekerjaan Sia-sia

Bahkan, korupsi menjadi salah satu penyebab keruntuhan VOC pada akhir abad ke-18.

Namun, VOC sering menggunakan isu korupsi sebagai alasan untuk menggulingkan bupati-bupati yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka.

Misalnya, pada tahun 1705, VOC menuduh Sultan Agung Tirtayasa dari Banten melakukan korupsi dan memberontak terhadap Belanda.

Padahal, Sultan Agung Tirtayasa hanya ingin membebaskan Banten dari cengkeraman VOC dan menjalin hubungan dengan negara-negara lain seperti Inggris dan Prancis.

VOC kemudian mengirim pasukan untuk menyerang Banten dan merebut tahta dari Sultan Agung Tirtayasa.

Sultan Agung Tirtayasa berhasil melarikan diri ke pedalaman dan melanjutkan perlawanan terhadap VOC hingga akhir hayatnya pada tahun 1692.

Namun, Banten sudah jatuh ke tangan VOC dan dikuasai oleh bupati-bupati boneka yang setia kepada Belanda.

Kasus serupa juga terjadi di Mataram. Pada tahun 1708, VOC menuduh Sunan Amangkurat II dari Mataram melakukan korupsi dan memberontak terhadap Belanda.

Padahal, Sunan Amangkurat II hanya ingin mengembalikan kedaulatan Mataram yang telah banyak diserahkan kepada VOC sebagai imbalan atas bantuan militer dalam Perang Plered.

VOC kemudian mengirim pasukan untuk menyerang Mataram dan merebut tahta dari Sunan Amangkurat II.

Sunan Amangkurat II berhasil melarikan diri ke timur dan melanjutkan perlawanan terhadap VOC hingga akhir hayatnya pada tahun 1719.

Baca Juga: Kala VOC Berulang Kali Gagalkan Mimpi Besar Sultan Agung untuk Menyatukan Tanah Jawa

Namun, Mataram sudah jatuh ke tangan VOC dan dikuasai oleh bupati-bupati boneka yang setia kepada Belanda.

Dari dua contoh di atas, dapat dilihat bahwa korupsi menjadi senjata politik yang digunakan oleh VOC untuk menundukkan bupati-bupati Nusantara yang berani melawan dominasi mereka.

Artikel Terkait