Intisari-Online.com - Dulu ada anggapan harga manufaktur lebih murah di Asia dan Amerika Selatan, namun anggapan ini telah bergeser. Kini, produk China tak lagi murah. Mengapa?(Baca juga:Reputasi Singapura Sebagai Surga Belanja Menurun)Data The Boston Consulting Group (19/8) menunjukkan China sebagai satu dari sejumlah negara yang keuntungan biaya manufaktur terhadap Amerika Serikat (AS) mulai menurun. Penurunan ini juga dialami oleh Brazil, Rusia, Czech Republic, dan Polandia.Investor kini lebih melirik AS dan Meksiko karena pertumbuhan gaji yang moderat dan rendahnya harga energi di sana. Di masa yang akan datang, banyak pengusaha AS yang juga akan lebih suka memproduksi barang di dekat tempat tinggal mereka.Sejak 2004, tingkat upah di China meningkat tajam hampir lima kali lipat. Sementara upah Meksiko hanya baik 67% atau kurang dari 50% jika dihitung dengan dollar AS. Biaya energi di China juga meningkat 66% dan harga gas naik 138%. Berbagai kenaikan ini membuat produk China tak lagi murah."Dapat dikatakan perusahaan akan memindahkan pabrik dari negara dengan biaya operasional mahal ke negara yang murah seperti AS," jelas Hal Sirkin, senior partner The Boston Consulting Group.(Baca juga:Sektor Properti di China Mulai Jenuh)Pernyataan Sirkin didukung data pemerintah AS juga menunjukkan bahwa produksi industrial di AS naik 0,4% selama enam bulan berturut-turut. Tingkat produksi manufaktur juga naik 1% pada Juli 2014 dimana itu adalah kenaikan terbesar sejak Februari lalu.Sebaliknya, upah di AS bergerak lambat di angka minimal US$ 7,25 per jam. Upaya menaikkan upah minimum menjadi US$ 10,10 per jam akan berdampak pada industri jasa. Harga gas alam di Amerika Utara juga telah turun 25-35% sejak 2004 seiring dengan meningkatnya angka produksi.Posisi China yang kalah saing dengan di industri manufaktur global membuat produk China tak lagi murah. Kenaikan upah dan biaya energi menekan perekonomian negara ini. Bagaimana dengan Indonesia?