Dokter Boen alias Boenjamin Setiawan pendiri raksasa farmasi kalbe Farma meninggal dunia di usia 90 tahun.
Intisari-Online.com -Kabar duka datang dari dunia farmasi Indonesia.
Konglomerat pendiri PT Kalbe Farma Boenjamin Setiawan meninggal dunia pada usia 90 tahun.
Dokter Boen meninggal setelah mendapat perawatan di Rumah Sakit Medistra Jakarta Selatan.
Rencananya, jenazah Dokter Boen akan dimakamkan di kompleks pemakaman elite Sandiego Hill, Karawang, Jawa Barat.
Dokter Boen lahir di Tegal, Jawa Tengah, pada 1933.
Dia adalah langganandalam daftar orang terkaya di Indonesia.
Nama Boenjamin Setiawan mungkin jarang dikenal orang, tapi orang tak mungkin tidak tahu soal RS Mitra Keluarga dan Kalbe Farma.
Itu adalah dua perusahaan mili Dokter Boen.
Kalbe Farma adalah perusahaan farmasi terbesar di Tanah Air.
Sementara Mitra Keluarga, juga merupakan jaringan 25 rumah sakit besar yang sudah tersebar di beberapa kota di Indonesia.
Baik Kalbe Farma maupun Mitra Keluarga, keduanya adalah perusahaan yang sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Profil Boenjamin Setiawan Dikutip dari Forbes, Boenjamin Setiawan merupakan dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ia sempat melanjutnya studi kedokterannya ke University of California, Amerika Serikat (AS) dengan spesialias farmakologi.
Ia juga sempat mengajar sebagai dosen di almamaternya.
Bermodal uang patungan dengan beberapa saudara kandungnya, dr Boen mendirikan pabrik obat dari garasi rumahnya.
Inilah yang kemudian jadi cikal bakal Kalbe Farma.
Forbes menempatkan Boenjamin Setiawan di urutan ke-8 orang terkaya di Indonesia, dengan kekayaan bersih sebesar 4,8 miliar dollar AS atau setara Rp 71,79 triliun (kurs Rp 14.950).
Semua diawali dari mimpi
Soal kunci kesuksesan Kalbe, Dokter Boen pernah bercerita kepada Intisari.
Begini katanya:
"Agar di suatu negara bisa muncul banyak pelopor di dunia farmasi, mesti ada entrepreneur dengan banyak ide inovatif.
Tetapi supaya sebuah ide dapat terlaksana dan berhasil, pertamatama kita membutuhkan seorang pemimpi. You have to dream.
Bung Karno sendiri pernah mengatakan, “Gantungkanlah angan-anganmu setinggi bintang.” Itu memang benar. Seorang pemimpi takkan sukses hanya bermodal mimpi.
Ia harus juga mempunyai kepemimpinan. Dan dia juga membutuhkan manajer yang akan menata segala sesuatunya agar berjalan dengan rapi supaya gampang dilaksanakan.
Keempat, mesti ada uang, yaitu modal, dan terakhir, tentu harus ada prajurit – prajurit pelaksana di lapangan.
Inilah yang diperlukan agar suatu ide dapat terwujud dan kepeloporan terjadi. Kalbe beruntung karena semua karakter kepeloporan itu kebetulan ada pada kami enam bersaudara.
Kami berenam (Khouw Lip Tjoen, Khouw Lip Hiang/Theresia Harsini Setiady, Khouw Lip Swan, Khouw Lip Boen/ Boenjamin Setiawan, Khouw Lip Hwa/Maria Karmila, dan Khouw Lip Bing/ Fransiscus Bing Aryanto-red) bersama-sama saling melengkapi, sehingga semua sifat yang dibutuhkan untuk menjadi pelopor terpenuhi.
Kalau hanya saya sendiri Kalbe tak mungkin berhasil. Kalbe diawali pada tahun 1966, pada awal era pemerintahan Soeharto.
Sebelumnya dua kali saya pernah membentuk kelompok usaha bersama teman-teman, tetapi gagal karena kurang pengalaman dan permodalan.
Tetapi saya sudah kadung jatuh cinta pada dunia penelitian. Kebetulan bidang penelitian saya di AS sampai meraih PhD adalah farmasi.
Maka ketika mendapat tawaran untuk bekerja di sebuah perusahan farmasi di Belanda, saya tertarik. Saya sudah mantap akan berangkat ke Belanda, ketika kakak-kakak saya melarang dan mengajukan gagasan agar kami bersatu bekerja sama mendirikan perusahaan farmasi.
Kebetulan di Jln. Simpang 1, di Tanjung Priok, ada bengkel milik pasien seorang dokter kawan saya, hendak dijual.
Saya pun batal ke Belanda, dan begitulah awalnya Kalbe berdiri. Di sebuah bengkel. Kalau mau maju, kita harus tahu pasarnya.
Kalau itu sudah diketahui, kita harus mencari tahu juga obat-obatan apa saja yang mempunyai market value, nilai komersial.
Obat produksi kami yang pertama adalah Kalixon obat cacing, meniru sebuah brand lain yang waktu itu sudah populer di pasaran. Kami juga meniru antibiotik tetracycline, dengan menambahkan B Complex sehingga kemudian kami namai Tetraplex.
Antibiotik chloramphenicol kami tiru menjadi Chloramplex. Kami meniru tidak asal meniru, tetapi dengan menambahkan inovasi pada obat yang kami tiru.
Kemudian, kami juga membuat Kalpanax, obat panu, karena pada waktu itu banyak sekali orang yang menderita panu.
Intisari pun demikian, saya kira bisa maju karena inovasi-inovasi yang dilakukannya. Perkembangan obat-obatan dimulai dengan jamu atau herbal.
Pada fase berikutnya ditemukan obat-obatan bermolekul kecil, macam aspirin. Di fase ketiga, orang menemukan antibiotik, seperti penicillin. Sekarang kita telah memasuki fase keempat yaitu bioteknologi, di mana orang membuat obat-obat bermolekul besar, seperti protein-protein.
Fase terakhir dan sedang berkembang adalah fase stemcell, atau kita kenal sebagai sel punca. Oleh karena saya praktik sebagai dokter, saya mengetahui kebutuhan obat di masyarakat saat itu.
Promosinya kami meniru cara marketing sebuah perusahaan luar negeri. Dengan pricing yang tepat, ditambah kenyataan bahwa kami bersaudara, sehingga lebih mudah bekerja sama.
Kami pun merekrut pegawai secara selektif. Kalbe didirikan pada waktu yang tepat. Di era itu Indonesia baru dibuka kembali bagi investor asing.
Perusahaan farmasi asing banyak memasarkan obatnya di Indonesia. Sebut saja: Bayer, Dumex, dll. Mereka menjual obat-obat paten yang tentu saja harganya mahal.
Sebaliknya, obat produksi pabrik lokal harganya murah-murah. Kami pun menetapkan harga di antara keduanya.
Demikianlah, dengan strategi 5P kami membangun Kalbe: Product, Promotion, Placement, Pricing dan People."