Intisari Online- Sebelum Soeharto naik pamor, jabata Presiden Indonesia ternyata pernah diemban oleh Syafruddin Prawiranegara.
Tepatnya tiga tahun setelah Indonesia memerdekakan diri sebagai sebuah negara, kondisi pemerintahan belum stabil.
Bahkan masa sulit pernah dialami Indonesia sesaat setelah Soekarno dan Soeharto memproklamasirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Momen tersebut dikenal sebagai masa Revolusi Indonesia karena banyaknya pertempuran terbuka melawan militer Belanda.
Karena banyaknya pertempuran tersebut, pemerintah Indonesia sempat mengalami kondisi darurat.
Hal itupun membuat Indonesia harus memindahkan Ibukota negara ke Buktitinggi Sumatra.
Peristiwa tersebut diingat sebagai Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Bukittinggi.
Sebagai Presiden Indonesia yang sah kala itu, Soekarno memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk mendirikan Pemerintahan Darurat di Sumatra.
Tepatnya pendirian Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 22 Desember 1948.
Pembentukan PDRI dikarenakan Belanda menduduki ibukota RI saat itu, Yogyakarta. Para pemimpin Republik.
Bahkan sejumlah tokoh penting kala itu ditangkap, termasuk Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan lainnya, lalu diasingkan ke luar Jawa.
Pemilihan Bukittinggi sebagai tempat pendirian Pemerintahan Darurat Republik Indonesia karena memiliki alasan penting.
Yakni terancamnya pemerintahan RI tamat di tengah agresi militer yang dilakukan oleh Belanda di hampir seluruh pulau Jawa.
Atas perintah Soekarno itulah, Syafruddin dan tokoh-tokoh lainnya seperti Tengku Mohammad Hassan, Soetan Mohammad Rasjid, juga Loekman Hakim, mendeklarasikan PDRI.
Karena pengasingan tokoh-tokoh pemerintahan Indonesia yang ada di Jawa tersebut, akhirnya Syafruddin ditunjuk sebagai ketua sekaligus merangkap sebagai perdana menteri sekaligus menteri keuangan.
Baca Juga: Jejak Sejarah Puasa Ramadan di Nusantara: Dari Kerajaan Islam hingga Kemerdekaan
Dalam buku berjudul 'Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998', Audreey R. Kajian menulis bahwa PDRI memainkan peran penting untuk menjamin kelangsungan Indonesia sebagai sebuah negara.
Sebagai ketua, Syafruddin memerankan tugas penting dalam pemerintahan darurat tersebut.
Syafruddin Prawiranegara menjabat sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan Republik selama 207 hari.
Pada 13 Juli 1949, ia mengembalikan mandat kepada Soekarno, dan beberapa bulan berselang, Belanda akhirnya mengaku kedaulatan RI secara penuh.
Bila melihat hierarki atau bagan pemerintahan, selama 207 hari Syafruddin memegang tampuk pemimpin tertinggi Republik Indonesia kala itu.
Menjabat sebagai Ketua PDRI, tetapi dalam hierarki pemerintahan Indonesia tidak mengenal namanya ketua.
Indonesia yang menganut sistem republik, memiliki istilah tersendiri menamai pemimpin tertinggi pemerintahannya sebagai presiden.
Seperti yang dikutip dari percakapan Syafruddin dengan tokoh perjuangan bernama Kamil Koto.
Jelang akhir tahun 1948, Kamil bertanya kepada Syafruddin mengenai apakah ia menjadi presiden menggantikan Bung Karno.
Tetapi Syafruddin menyanggah petanyaan Kamil Koto tersebut.
Baca Juga: Dari Masa Penjajahan hingga Kemerdekaan, Ini Kesepakatan Patok Batas Wilayah Indonesia dan Malaysia
Syafruddin lebih memilih dianggap sebagai Ketua PDRI dibanding dengan presiden PDRI.
Bahkan Syafruddin menambahkan, bahwa dalam politik itu sama sekali tidak mudah sekedar untuk mengatakan betul atau salah.
Niatnya hanya untuk berjuang dan menyelamatkan Republik supaya tidak hancur bukan untuk mengambil alih kekuasaan dari siapa dan kepada siapa.
(*)