Sukatno memberi contoh, dalam Centhini II (Pupuh Asmaradana) diuraikan dengan gamblang soal "ulah asmara" yang berhubungan dengan lokasi genital yang sensitif dalam kaitannya dengan permainan seks. Misalnya, cara membuka atau mempercepat orgasme bagi perempuan, serta mencegah atau mempercepat agar lelaki tidak cepat ejakulasi.
Lalu dalam Centhini IV (Pupuh Balabak) diuraikan secara blak-blakan bagaimana pratingkahing cumbana (gaya persetubuhan) serta sifat-sifat perempuan dan bagaimana cara membangkitkan nafsu asmaranya.
Terungkap juga ternyata perempuan tidak selamanya bersikap lugu, pasif dalam masalah seks sebagaimana stereotipe pandangan Jawa yang selama ini kita terima. Mereka juga memiliki kebebasan yang sama dalam mengungkapkan pengalaman seksualnya. Padahal mereka selalu digambarkan pasrah, nrima kepada lelaki.
Hal itu tampak dalam Centhini V (Dhandhanggula). Di ruang belakang di rumah pengantin perempuan pada malam menjelang hari H perkawinan antara Syekh Amongraga dan Nike Tembangraras, para perempuan tua-muda sedang duduk-duduk sambil ngobrol. Ada yang membicarakan pengalamannya dinikahi lelaki berkali-kali, pengalaman malam pertama, serta masalah-masalah seksual lainnya yang membuat mereka tertawa cekikikan.
Salah satu percakapan itu misalnya seperti ini, "Nyai Tengah menjawab sambil bertanya, Benar dugaanku, Ni Daya, dia memang sangat kesulitan, napasnya tersengal. Saya batuk saja, eh lepas ... Mak bul mudah sekali lepasnya. Tak pernah kukuh di tempatnya. Susahnya sangat terasa, karena meski besar seakan mati." Disambut dengan tawa cekikikan.
Tipe perempuan
Seperti diungkap oleh Franz Magnis Suseno dalam Etika Jawa, yang dikutip Sukatno, adalah fakta bahwa hubungan seksual dalam masyarakat Jawa hanya diizinkan dalam rangka perkawinan. Masyarakat Jawa tidak mengenal masalah seksual sebagai wahana pelampiasan nafsu hedonistik, penikmatan terhadap hidup. Namun, pada kenyataannya tidaklah demikian. "Adanya sistem budaya katuranggan jelas merupakan penyangkalan terhadap hal itu," ungkap Sukatno.
Temukan ulasan selanjutnya tentang Serat Centhini pada tautan ini.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR