Intisari-Online.com-Persoalanpergundikanmemang bukan sesuatu yang baru.
Sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Timur pada abad ke-17,gundiksudah menjadi semacam kebutuhan.
Namun baru pada pemerintahanJ.P. Coen, sebagai Gubernur Jenderal kedua VOC, ia mengajukan kepada Heeren XVII, agar dikirimkan wanita dari Belanda.
Namun, permintaannya itu ditolak sehingga praktikpergundikanyang mayoritas diisi oleh wanita pribumi semakin merajalela.
Orang Belanda juga hobi memberikan nama profesi rendahan yang diambil dari orang-orang pribumi.
Salah satunya untuk menamakan pelacuran dengan sebutan Sarina.
Sarina merupakan bangsa pribumi yang berprofesi sebagai gundik.
Awalnya ia hanya melayani dan mengurus keperluan hidup para serdadu Eropa yang bertugas di Hindia Belanda.
Namun lama kelamaan, Sarina dijadikan sebagai wanita pelacur oleh para prajurit tersebut.
Baca Juga:Tak Ubahnya Seekor Sapi, Mirisnya Hubungan Serdadu dan Para Gundik di Barak Militer
Sehingga nama Sarina kemudian dikenal sebagai istilah rahasia untuk menyebut pelacuran di dalam tangsi.
Seorang Sarina tahu cara memanfaatkan gaji kecil untuk mendapatkan makanan lezat.
Mereka menyediakan minuman segar ketika suaminya datang seusai latihan yang melelahkan.
Rata-rata umur seorang nyai di dalam tangsi tentara kolonial berusia antara 12-35 tahun.
Usia menikah bagi anak perempuan pribumi pada waktu itu adalah sekitar 13 tahun.
Bukan sebuah hal yang aneh jika seorang anak perempuan berusia 12 tahun sudah hidup dalam pernyaian.
Ketika seorang nyai yang berusia 30 tahun, ia akan dianggap sudah tua.
Kecemasan bahwa suatu hari akan diusir menjadikan nyai harus berusaha keras untuk dapat mempertahankan kedudukannya.
Jika seorang gundik yang dianggap sudah tua benar-benar disuruh pergi oleh serdadu yang tinggal bersamanya maka ia akan mendapat apa yang disebut sebagai “surat lepas” di dalam tangsi.
Sama dengan pergundikan atau pernyaian yang lain, nasib masa depan seorang Sarina tetap tidak ada kepastian.
Bayang-bayang pengusiran oleh Tuan Eropa-nya terus mengintai.
Baca Juga: Selain Melakukan Praktik Pergundikan, Orang Eropa Juga 'Ciptakan 'Babu' dan 'Jongos''
Bagaimanapun juga, seorang anggota militer pasti suatu saat akan dipindah tugaskan ke wilayah baru atau kembali ke Eropa, tempat asalnya setelah habis kontrak.
Untuk mempertahankan kedudukannya, seorang nyai dalam tangsi tentara kolonial dituntut untuk kuat.
Mereka harus kuat, baik itu untuk menghadapi para serdadu yang umumnya kasar dan kurang beradab maupun menghadapi persaingan dan kecemburuan antar sesama nyai.
Tidak jarang seorang nyai juga lemah lembut dan penuh kasih sayang serta sabar dalam menghadapi pasangan serdadunya.
Baca Juga:Panggil Mereka 'Mina' Saja, Bagaimana Para Gundik Serdadu Kolonial Bisa Bernama Sama?
(*)