Intisari-Online.com - Bagaimana kedudukan kita dalam masyarakat dunia?
Pertanyaan "Bagaimana kedudukan kita dalam masyarakat dunia?" terdapat pada halaman 107 buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Kelas XI Kurikulum Merdeka.
Pada buku tersebut, bagian 3 unit 1 mempelajari tentang "Kita dan Masyarakat Global".
Dijelaskan bahwa era globalisasi telah membawa manusia pada satu tahap peradaban yang cukup maju.
Masa tersebut ditandai oleh berbagai penemuan baru dan kemajuan di berbagai bidang.
Bagi umat manusia, perkembangan pesat era globalisasi sangat menguntungkan.
Hal itu karena mereka cukup terbantu karena dipermudah dalam berbagai hal.
Batas-batas geografis pun bukan lagi menjadi penghalang, karena akses informasi bisa didapatkan sedemikian mudah.
Namun, dengan kondisi tersebut, ada pula dampak positif dan negatifnya.
Dampak positif dari globalisasi, yaitu dengan teknologi dan transportasi yang semakin canggih, transaksi dalam bidang ekonomi antarnegara pun menjadi sangat mudah.
Selain itu, pengiriman barang dan jasa bisa dengan sangat mudah dilakukan.
Dampak positif lainnya adalah pengembangan ilmu pengetahuan, terjalinnya hubungan antarwarga dunia, informasi yang sedemikian mudah diakses, dan aspek-aspek lainnya.
Namun, era globalisasi tak lepas dari dampak negatif yang dibawanya.
Dampak negatif fenomena tersebut adalah bahwa kekuatan elit pemilik modal bisa melakukan hegemoni dan dominasinya atas kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Bukan hanya itu saja, kita juga merasakan bahwa kebudayaan luhur mulai mendapatkan tantangan dari budaya baru. Konsumerisme, hedonisme, serta pudarnya tata krama mulai terasa.
Kehidupan pertanian perlahan-lahan mulai ditanggalkan, karena pada saat yang sama, masyarakat kita bergerak menjadi masyarakat industri.
Seperti halnya masyarakat dunia yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan kita, begitupun juga sebaliknya.
Kehidupan kita sebagai sebuah bangsa turut membentuk identitas masyarakat dunia.
Itulah bagaimana kedudukan kita dalam masyarakat dunia.
Apa yang kita miliki (nilai, tradisi, budaya dan lainnya) menjadi bagian dari kekayaan kebudayaan dunia yang begitu kaya.
Globalisasi telah memperluas kehadiran suatu negara di mata dunia, termasuk Indonesia.
Baca Juga: Firasat Telinga Berdenging Menurut Primbon Jawa, Ini Artinya Jika Berdenging Tengah Malam
Berbagai perubahan yang menyertai era globalisasi tersebut, pada gilirannya juga memberikan pengaruh pada cara pandang manusia terhadap kehidupan alam semesta. Nilai, norma, dan pola hidup berubah teramat cepat dan menjadi tatanan baru.
Tatanan itulah yang pada akhirnya menjauhkan manusia dari kepastian nilai yang berpuluh-puluh tahun lamanya ia pegang.
Dari hal tersebut, muncullah pula perdebatan-perdebatan mengenai bagaimana cara menyikapi era globalisasi.
Tentunya, dibutuhkan cara yang lebih arif dalam menyikapi berbagai keruwetan era globalisasi ini. Sementara itu, ada tiga respon yang bisa diberikan oleh sebuah kelompok terhadap fenomena globalisasi.
Pertama, kelompok rejeksionis yang menolak mentah-mentah segala bentuk produk pemikiran era globalisasi.
Kelompok tersebut percaya bahwa yang berbau asing harus ditolak, karena tidak sesuai dengan jati diri serat kepribadian bangsanya.
Sikap itu sembari dibarengi dengan sikap superior atau mengakui bahwa hanya kebudayaannya saja yang paling adiluhung, sementara yang lain lebih rendah.
Kelompok kedua, adalah mereka yang menerima segala bentuk produk globalisasi dengan tidak pernah melakukan filter terhadapnya. Ini merupkan kebalikan dengan sikap kelompok pertama.
Mereka menerima tanpa filter nilai, budaya, serta tradisi yang datang dari luar kebudayaannya.
Kemudian, ada kelompok ketiga, yaitu yang memilih untuk bersikap adaptif, tidak menampik tetapi juga tidak menerimanya begitu saja.
Dengan kata lain, ada proses seleksi untuk memilih dan memilah produk mana yang sesuai dengan nafas kehidupan bangsa sembari melakukan refleksi kritis terhadap segala hal yang merupakan bentukan dari masa ini.
Baca Juga: Mengenal Taman Sari, Tempat Bersejarah di Yogjakarta, Taman Rekreasi Para Raja
(*)