Intisari-Online.com -Sejak ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Kebudayaan Lisan dan Nonbendawi asli Indonesia oleh PBB pada Oktober 2009 silam, euforia batik semakin menggila. Meski demikian, tapi semua industri batik menikmati masa indah ini, salah satunya adalah batik Oey Soe Tjoen yang dianggap sebagai salah satu legenda batik pesisir. Batik Oey menjadi salah satu industri batik yang sempat mengalami masa mati suri.
Batik art Oey Soe Tjoen berada di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah. Industri batik yang didirikan oleh Oey Soe Tjoen ini pada 1925 ini, pada masa jayanya, 1935, pernah mempekerjakan hingga 150 pekerja dan menghasilkan 30 kain batik per bulan.
Sekarang, industri bati yang diteruskan oleh Widianti Widjaya, cucu sang pendiri, hanya memproduksi 20 kain batik per tahun. Untuk satu kainnya, harganya “setara dengan satu sepeda motor baru”.
Masalah utama masih berkutat seputar sumber daya manusia yang jauh dari kriteria yang ditetapkan batik Oey. Terkesan arogan memang, tapi untuk mempertahankan kualitas secara terus-menerus, Widianti memasang target tinggi untuk para calon pembatiknya. Jika dihitung-hitung, saat ini hanya ada 12 sampai 15 pekerja yang aktif.
Untuk selembar kain batik yang dibuat, Widianti meminta tenggat waktu 3 sampai 3,5 tahun. Bukan karena banyaknya permintaan, tapi karena Sang Pemilik tidak bisa memaksa para pekerjanya bekerja seharian di pembatikan. Mereka bekerja sesempatnya.
“Ada yang petani, ada yang ibu rumah tangga, mereka mbatiknya ya pas ada waktu luang saja. Setelah mengantar anak sekolah misalnya,” ujar Widianti. Soal upah, tentu sesuai dengan jumlah pekerjaan.
Dengan hasil produksi itu, Batik Oey tidak lagi bisa menjadi mata pencaharian utama keturunan Oey. Untuk tetap mempertahankan dapur keluarga tetap mengepul, Widianti membuka toko serbaada yang letaknya persis di samping rumah. Bahkan ada kalanya toko yang dirintis bersama suaminya itu justru berperan sebagai penopang utama batik. (Intisari, 2013)