Intisari-Online.com -Presiden Joko Widodo mengumumkan keputusan kenaikan harga BBM pada Sabtu (3/9/2022).
Harga Pertalite mengalami kenaikan jadi Rp 10.000 per liter dari sebelumnya dipatok Pertamina sebesar Rp 7.650 per liter.
Kebijakan harga BBM naik juga berlaku untuk BBM subsidi lainnya, Solar yang naik menjadi Rp 6.800 dari Rp 5.150 per liter.
Di tengah pengumuman kenaikan harga BBM terbaru yang dijual di SPBU Pertamina, di dunia maya, ramai soal pembahasan harga BBM jenis yang dijual seharga Rp 8.900 per liter.
BBM tanpa subsidi dengan harga lebih murah dari harga Pertalite itu dijual oleh jaringan SPBU milik perusahaan swasta, SPBU Vivo.
Baik di TikTok atau di media sosial lainnya seperti Instagram dan Facebook, ramai-ramai waganet menyarankan agar beralih untuk mengisi bahan bakar di SPBU Vivo tersebut.
MelansirKontan.co.id, Senin (5/9/2022), pemilik SPBU Vivo Jaringan SPBU Vivo berada di bawah bendera PT Vivo Energy Indonesia, perusahaan sektor hilir minyak dan gas bumi, yang resmi beroperasi di Indonesia sejak tahun 2017 lalu.
Awalnya perusahaan ini bernama PT Nusantara Energi Plant Indonesia (NEPI), namun kemudian berganti menjadi PT Vivo Energy Indonesia.
Meski namanya hampir serupa dengan merek ponsel asal China, secara kepemilikan, perusahaan penyalur BBM ini sejatinya masih terafiliasi dengan Vitol Group, raksasa minyak yang berbasis di Swiss
Dikutip dari laman resminya, Vitol Group awalnya didirikan di Rotterdam pada 1966.
Perusahaan ini juga mengembangkan jaringan SPBU di Belanda, Singapura, Inggris, Australia, dan beberapa negara di Afrika.
Di Tanah Air, perusahaan berkantor di Gama Tower, Jalan Rasuna Said Kuningan, Jakarta. Guna mendukung operasionalnya, Vivo juga memiliki unit kilang mini dan tangki BBM di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Perusahaan ini berekspansi dengan membangun bisnis SPBU Vivo yang secara langsung berkompetisi dengan Pertamina maupun SPBU lain milik swasta yang sudah lebih dulu eksis seperti Shell, AKR, dan BP.
Meski begitu ada sejumlah kontroversi mengenai perusahaan ini.
Sebuah artikel tahun 2001 di Observer menyatakan bahwa pada tahun 1995 Vitol secara diam-diam telah membayar US$1 juta kepada penjahat perang Serbia Arkan untuk menyelesaikan kesepakatan dengan perusahaan Minyak Serbia, Orion.
Namun, Vitol telah membantah semua tuduhan, dengan alasan bahwa tidak ada lembaga pemerintah yang pernah menuntut perusahaan dalam hal ini.
Tak hanya itu, pada tahun 2007, Vitol mengaku bersalah atas pencurian besar-besaran di pengadilan New York karena membayar biaya tambahan kepada perusahaan minyak nasional Irak selama rezim Saddam dan menghindari program minyak-untuk-makanan PBB.
Vitol kemudian membayar ganti rugi sebesar $17,5 juta atas tindakannya.
Menurut sebuah artikel di Financial Times, Vitol adalah perusahaan yang mengatur penjualan kontroversial pertama minyak pemberontak Libya ke Tesoro Corporation pada awal April 2011.
Menurut Financial Times, perusahaan tersebut didekati oleh perusahaan minyak nasional Qatar untuk menjual kargo minyak mentah yang dipasok oleh Libya dengan imbalan pasokan teknologi dan bahan bakar untuk Dewan Transisi Nasional Libya.
Pada bulan September 2012, sebuah artikel di Reuters menduga bahwa perusahaan tersebut telah membeli dan menjual bahan bakar minyak Iran, melewati embargo Uni Eropa terhadap Teheran.
Vitol membeli 2 juta barel menggunakan transfer kapal-ke-kapal di lepas pantai Malaysia dari kapal Perusahaan Tanker Nasional Iran dan menjualnya ke pedagang China.
Pada tahun 2013, The Telegraph mengklaim bahwa perusahaan telah menggunakan, Employee Benefit Trust selama lebih dari satu dekade untuk menghindari pembayaran pajak penghasilan untuk stafnya di Inggris.
Pada tahun 2020, Vitol Inc. setuju untuk membayar total hukuman pidana gabungan sebesar $135 juta untuk menyelesaikan tuduhan suap dengan otoritas penegak hukum di Amerika Serikat dan Brasil.
Resolusi muncul dari skema Vitol untuk membayar suap kepada pejabat di Brasil, Ekuador dan Meksiko.
(*)