Medan dan Bahasanya

Moh Habib Asyhad

Editor

Medan dan Bahasanya
Medan dan Bahasanya

Intisari-Online.com -Tak banyak yang menyadari, Kota Medan sebenarnya memiliki pengaruh cukup banyak pada pembentukan bahasa Indonesia. Ini tak lain karena Kota Medan diisi oleh beragam etnis dan subetnis dari seluruh Indonesia. Bahkan dari keturunan asing seperti Tionghoa, India (Keling/Tamil dan Sikh), Pakistan, Arab, dan sekitarnya (termasuk Hadramaut). Ada juga keturunan-keturunan Eropa.

Berdasarkan sensus BPS tahun 2000, penduduk kota Medan berdasarkan etnis secara berturut-turut terdiri atas Jawa (33%), Batak (20,9%), Tionghoa (10,65%), Mandailing (9,3%), Minang (8,6%), Melayu (6,59%), dan Aceh (2,7%), dan lain-lain. Jika subetnis Mandailing digabung dengan Batak, maka etnis Batak memang menjadi banyak, tapi lebih banyak entis Jawa.

Semula, kota Medan berkembang dari akar budaya Melayu yang memang menjadi penduduk asli kota Medan. Karena bahasa Indonesia juga memiliki akar bahasa yang sama, menyebabkan kota Medan memberi pengaruh bagi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Tak heran, bila beberapa tokoh sastra berasal dari Medan atau muncul dan berkembang dari kota Medan.

Untuk sekadar menyebut, ada Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Hamka juga pernah bermukim di Medan.

Penduduk kota Medan pada akhirnya berkembang. Melalui perkebunan dan perdagangan, turut membuat perubahan besar dalam perkembangan kota. Medan menjadi tempat mencari kerja, dan banyak orang merantau ke sana. Tak hanya mereka yang berasal dari Sumatera, tapi dari seluruh Indonesia.

Akibatnya, penduduk kota Medan menjadi amat beragam. Medan berkembang menjadi kota multietnik, dan dengan sendirinya menjadi multikultur dan dan multibudaya. Kalaupun akar budayanya (khususnya bahasa) berasal dari Melayu, dalam perkembangannya Medan banyak dipengaruhi oleh budaya etnik lain.

Sedikit banyak ini membuat penduduk kota Medan terlihat amat dinamis dan kreatif dan berbahasa.

Dari Medan muncul banyak istilah yang menyebar ke daerah-daerah lain. ketika es teler baru saja populer di Jakarta, sesungguhnya istilah “teler” sudah lama terdengar di Medan. Teler sendiri berarti setengah mabuk. Begitu pula dengan istilah lain, seperti “preman”, “pajak” dan “gang” untuk menyebut pasar, “doorsmeer” untuk menyebut bengkel dan tempat suci, “raun-raun” untuk menyebut jalan, dan “bakal” untuk menyebut bahan.

Ada juga beberapa singkatan seperti limper (lima perak), limpul (lima puluh), es martabe (es markisa dan terong belanda), dll.

Ada juga istilah yang lahir dari kejahilan. Jika ada seorang wali kota yang gemar membangun taman, ia akan disebut Wagiman (walikota gila taman). Sementara yang suka memasang lampu taman akan dipanggil Wagilam alias walikota gila lampu.

Begitulah kota Medan dan kontribusinya terhadap bahasa Indonesia.(Dedes Erlina/Intisari Juli 2016)