Taman Pendidikan untuk Semua Orang

Agus Surono

Penulis

Taman Pendidikan untuk Semua Orang
Taman Pendidikan untuk Semua Orang

Orang kaya bersedekah itu biasa. Tapi kalau yang bersedekah orang miskin, apalagi sedekahnya berupa pendidikan, itu baru luar biasa. Kiswanti, seorang ibu rumah tangga di Parung, Bogor, Jawa Barat, membuktikan bahwa orang tak mampu pun bisa bersedekah seperti orang kaya. Di rumahnya yang sederhana, ia membuat taman pendidikan buat anak-anak di kampungnya. Gratis.

Terlahir dari keluarga miskin membuat Kiswanti (44 tahun) tahu betul betapa mahalnya pendidikan buat orang-orang seperti dia. Saat SD, perempuan asal Bantul, Yogyakarta, ini sempat tidak bisa naik kelas hanya karena tidak bisa membayar SPP. Bapaknya hanya seorang tukang becak yang tidak sanggup menyekolahkan Kiswanti seperti anak-anak kebanyakan. Padahal, saat itu Kiswanti tergolong siswa berprestasi yang sering memenangi lomba. Setelah sempat putus sekolah, Kiswanti kecil akhirnya bisa menyelesaikan pendidikan SD sambil bekerja di sebuah perpustakaan.

Lulus SD, Kiswanti harus puas sampai di situ. Orangtuanya sudah tidak sanggup lagi menyekolahkannya ke jenjang yang lebih tinggi. Karena ia ingin seperti teman-temannya yang bersekolah di SMP, Kiswanti akhirnya "bersekolah" sendiri. Ia membaca buku-buku pelajaran SMP seperti yang dipelajari teman-temannya. Setiap hari, sepulang bapaknya dari mengayuh becak, ia minta dibawakan oleh-oleh spesial: majalah dan koran bekas. Sesekali ia minta diantar bapaknya berbelanja buku bekas di pasar loak di Yogyakarta.

Karena setiap hari membaca koran dan majalah bekas itulah Kiswanti tumbuh menjadi penggemar buku-buku bacaan "kelas berat". Meskipun hanya lulusan SD, ia bisa melahap novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer. Ketika merantau ke Jakarta untuk menjadi pembantu rumah tangga, ia bahkan mengajukan permintaan yang agak nyeleneh kepada majikannya yang punya koleksi buku seperti perpustakaan. Ia minta tidak dibayar dengan uang tapi dengan buku. "Saya akan membuat perpustakaan," katanya kepada majikannya. Tapi sang majikan menolak. Ia tetap membayar Kiswanti dengan uang lalu mengajaknya pergi ke pasar buku bekas di Kwitang, Jakarta Pusat. Kebiasaan membeli buku bekas itu membuat Kiswanti menjadi seperti saudagar buku. Koleksinya mencapai lebih dari dua ratus judul. Cukup ganjil untuk ukuran seorang pembantu rumah tangga lulusan SD. Ia mengangankan punya sebuah perpustakaan yang bisa diakses siapa saja secara gratis. Pengalaman masa kecil membuat Kiswanti sadar betul pentingnya pendidikan yang terjangkau oleh semua orang.

Begitu kuat tekadnya, hingga saat hendak menikah, ia lagi-lagi mengajukan permintaan yang agak nyeleneh kepada calon suaminya, Ngatmin. Setelah menikah, Ngatmin yang asli Kebumen, Jawa Tengah, itu wajib membantunya membuat perpustakaan. Tak tanggung-tanggung, Kiswanti bahkan meminta syarat ini ditandatangani di surat perjanjian di atas kertas bermaterai! Padahal, calon suaminya itu hanya seorang kuli bangunan yang tidak tamat SD.

Tekad Kiswanti benar-benar sudah bulat. Tahun 1994, ketika ia menetap di Desa Pemagarsari, Parung, Bogor, koleksi bukunya mencapai 250 judul plus kliping majalah dan koran yang mulai ia buat sejak lulus SD. Saat itu buku-buku tersebut masih menjadi koleksi perpustakaan pribadi.

Tahun 1997 ia mulai menawarkan koleksi bukunya untuk dipinjam warga kampung. Tahun 2003, ia membeli sebuah sepeda mini dari hasil menabung selama tiga tahun. Sepeda itu ia gunakan untuk berkeliling membawa buku ke kampung-kampung sekitar yang berada dalam jarak tempuh sekitar 13 km dari Pemagarsari. Dengan keranjang buku di bagian depan dan belakang sepeda, ia berkeliling setiap hari sambil berjualan jamu dan rempeyek. Tiap kali menjumpai kerumunan anak-anak yang sedang bermain, ia berhenti dan menawarkan buku bacaan kepada mereka. Ternyata akan-anak itu sangat antusias membaca aneka buku yang ia bawa. "Minat baca mereka itu sebenarnya tinggi. Yang rendah itu daya beli buku," kata Kiswanti menarik kesimpulan. Untuk menambah koleksi buku, Kiswanti mengaku harus berhemat luar biasa demi bisa membeli buku bekas secara kiloan atau buku-buku diskon di hari terakhir pameran. Setiap bulan ia menempuh laku yang di masyarakat Jawa dikenal sebagai tirakat. Kiswanti menyebut lakunya sebagai "melaparkan diri". Setiap bulan ia mengurangi jatah makannya selama sepuluh hari. Uang yang bisa dihemat dari tirakat itu kemudian ia gunakan untuk membeli buku. Waktu itu buku-buku koleksinya hanya disimpan di dalam kardus. Anak-anak membaca di teras atau ruang tamu rumahnya yang mungil. Karena jumlah pengunjung terus bertambah, teras dan ruang tamu rumahnya tidak lagi bisa menampung mereka. Kiswanti pun membeli tanah seluas 45 m2 di sebelah rumahnya. Selama enam tahun, ia mencicil harga tanah itu dari upah menjadi tukang cuci piring.

Begitu tanah lunas dibayar, Kiswanti dan keluarganya lagi-lagi harus meneruskan tirakat. Untuk biaya membangun perpustakaan, suaminya harus merelakan sepeda motor miliknya untuk dijual. Padahal status kredit sepeda motor itu masih belum lunas. Anaknya juga harus merelakan tabungannya dipakai untuk biaya membangun perpustakaan.

Pendeknya, untuk membuat perpustakaan itu, Kiswanti sekeluarga harus banting tulang mencari uang. Kiswanti bahkan pernah mengikuti acara tantangan adu nyali di sebuah stasiun televisi. Dari acara itu ia mendapatkan uang Rp 20 juta yang kemudian ia gunakan untuk membangun perpustakaannya. Berdirinya perpustakaan yang diberi nama Warung Baca Lebak Wangi (Warabal) itu ternyata mengubah tradisi belajar anak-anak kampung Pemagarsari. Di Warabal, anak-anak bebas membaca buku, meminjamnya untuk dibawa pulang, bermain, berolahraga, dan melakukan kegiatan-kegiatan edukatif lainnya secara gratis. Hanya beberapa jenis kegiatan yang dipungut biaya, seperti kelas bahasa Inggris, komputer, dan playgroup. Hasil iuran dari anak-anak inilah yang digunakan untuk menutup biaya operasional Warabal.

Anak-anak kampung yang sebelumnya banyak menghabiskan waktu di depan televisi akhirnya menjadi lebih giat membaca. Beberapa orangtua malah mengaku kepada Budhe, panggilan akrab Kiswanti, bahwa tagihan listrik di rumah menjadi lebih kecil karena anak mereka tidak lagi suka menonton televisi. Di Warabal, anak-anak yang dianggap bebal dan tidak begitu dihargai di sekolah bisa menemukan rasa percaya dirinya. Beberapa dari mereka ternyata menemukan bakatnya di sini setelah ikut kegiatan keterampilan seperti menggambar, berpidato, mendaur ulang sampah, dan sebagainya. Sebagian dari mereka bahkan kemudian menjadi juara lomba keterampilan di olimpiade taman baca se-Jabodetabek. AWAL tahun 2008, Warabal sempat mengalami masa sulit. Ceritanya bermula ketika Kiswanti memberi pelajaran tentang Monumen Nasional (Monas) di Jakarta. Selesai mendapat pelajaran, anak-anak itu dengan lugu meminta Kiswanti agar mengajak mereka mengunjungi Monas. Bagi anak-anak kampung itu, pergi ke Monas adalah rekreasi yang sangat mewah.

Akhirnya disepakati mereka harus menabung sampai Rp 35.000,- per anak. Tiap datang ke Warabal, mereka harus menabung di celengan plastik yang dibeli oleh Kiswanti. Namun, rupanya cara ini mendatangkan masalah. Anak-anak itu kemudian sering minta uang kepada orangtua mereka di luar jatah. Akhirnya banyak orangtua yang mengeluh kepada Kiswanti. Banyaknya keluhan itu sampai membuat Kiswanti tertekan. Masalah ini baru terpecahkan ketika Kiswanti bertemu donatur di sebuah acara yang diadakan oleh komunitas taman baca 1001Buku. Atas bantuan donatur, anak-anak kampung itu bisa berkunjung ke Monas.

Kini, setelah enam tahun berdiri, koleksi buku Warabal mencapai lebih dari 7.000 judul. Sebagian besar dibeli oleh Kiswanti sendiri, sebagian kecil sumbangan dari beberapa lembaga dan donatur. Sehari-hari perempuan yang beberapa kali mendapat penghargaan dalam kategori pendidikan ini dibantu oleh beberapa orang guru relawan. Sama seperti Kiswanti, mereka pun bekerja tanpa bayaran.

Selain menyelenggarakan pendidikan nonformal bagi anak-anak, Warabal juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan buat ibu-ibu. Secara berkala mereka diajak untuk berdiskusi tentang masalah-masalah yang sedang populer, misalnya flu babi, gempa, demam berdarah, dan sebagainya.

Karena banyaknya kegiatan, setiap hari Warabal selalu ramai dikunjungi anak-anak. Mulai dari usia taman bermain, SD, SMP, hingga SMA. Total anggota yang aktif sekitar 400-an orang. Cukup banyak untuk ukuran perpustakaan sederhana di sebuah desa kecil. Bukan hanya menyediakan buku, kini Warabal juga memiliki enam unit komputer sumbangan donatur. Semua berawal dari mimpi Kiswanti untuk menyediakan pendidikan yang terjangkau semua orang.

Naskah: Mind Body & Soul No. 9 -Foto: forum.kompas.com