Perjuangan Debora Harmi dalam menjalani profesinya sebagai bidan, jelas tidak segampang bidan di kota-kota besar. Apalagi dengan statusnya bidan swasta murni, Deborah harus menanggung kebutuhan kesehatan pasien dari obat hingga proses penyembuhannya secara mandiri.
Ditemui Intisari di kompleks rumahnya, di Kecamatan Pedurungan Semarang, tampak keramahtamahan terpancar dari dirinya. Ibu tiga anak ini terus menunjukkan senyumnya meski mata lelahnya tak bisa berbohong. Terlebih lagi ketika tiba-tiba seorang pasien datang. Dengan sigap dan tanpa mengeluh ia melayaninya dengan senang hati. Padahal itu hari Minggu.Di sela rehatnya, bidan Debora menceritakan kisah hidupnya sebagai bidan swasta yang penuh lika-liku. Menjadi bidan awalnya hanya keinginan orangtua, namun sejak dirinya menekuni profesi itu lewat program Diploma Satu dan Diploma Tiga Kebidanan di RS Panti Wilasa Semarang ia mulai terpincut pada pekerjaan ini. "Ada panggilan jiwa untuk membantu orang. Ini pekerjaan sosial yang menurut saya perlu dilakukan," ungkap Debora tentang aktivitasnya.Awalnya, di tahun 2004, Debora malah tidak ada niat membuka klinik kesehatan di kompleks rumahnya. Namun masyarakat di sekitar lingkungan tempat tinggalnya yang kebanyakan dari golongan tidak mampu, meminta untuk membuka klinik. Panghasilan masyarakat di sana tidak menentu, padahal tetap membutuhkan layanan kesehatan.Perjuangan Debora pada awalnya cukup berat. Untuk membeli obat-obatan saja, ia harus menempuh perjalanan dengan becak sepanjang 11 km ke sebuah apotik di tengah kota. Obat yang dibeli juga tak sekomplet yang ada di puskesmas atau rumah sakit. Karena membeli dengan uang sendiri, yang tersedia hanya obat-obatan P3K.Masyarakat begitu mengandalkan Debora sebagai satu-satunya bidan di lingkungannya. Tidak melulu ibu hamil, pasien yang menderita berbagai macam penyakit juga datang ke kliniknya. Ia mencoba menolong semampunya, berbekal studi tiga tahun di bidang keperawatan di Sekolah Perawatan Kesehatan Dr. Kariyadi, Semarang.Berhubungan dengan orang-orang miskin, ia siap bekerja sosial. Tidak sedikit pasien yang berutang, bahkan tidak membayar lantaran tidak punya uang. "Kalau tidak punya uang ya kasih saja obatnya. Yang penting mereka sembuh. Saya tak mau mengejar keuntungan apa pun. Kalau saya tidak bisa mendapatkan yang kurang, Tuhan akan kasih yang lebih," katanya.Keikhlasan untuk menolong sesama tak hanya tercermin dari jasanya yang kadang tidak dibayar. Tarif yang ditetapkannya juga menyesuaikan dengan masyarakatnya. Misalnya untuk menolong kelahiran anak, ia hanya mematok harga Rp 300.000,- hingga Rp 350.000,-. Biaya tersebut sudah termasuk menginap dan pemberian makanan untuk ibu dan bayi yang dimasaknya sendiri. Tentu tarif itu jauh di bawah tarif melahirkan di rumah sakit.Khusus bagi ibu yang melahirkan anak pertamanya, bisa sampai empat hari tinggal di klinik. Debora akan mengajari ibu muda itu untuk memandikan bayinya, cara menyusui yang benar, mengganti popok, hingga memberi makan. Tanggung jawab dan ketulusannya membuat ia terkadang lupa dengan jumlah utang pasien-pasiennya yang menumpuk hingga puluhan juta rupiah.Di dalam rumah tangganya, perempuan kelahiran Pati 30 Oktober1968 juga terbilang luar biasa. Ia harus memainkan berbagai peran, baik sebagai kepala rumah tangga, ibu bagi anak-anak, sekaligus pelayan masyarakat. Jauh dari suami tercinta, Ir. Supriyanto Budi W, yang bekerja di Kalimantan tak membuat semangatnya surut. Kondisi itu justru membuatnya semakin mandiri dan tangguh.Peran Debora di lingkungannya semakin bertambah karena ia juga menjadi konsultan wirausaha pembuatan tempe. Tempe bukan sekadar menjadi makanan, tapi juga digunakan untuk mengurangi kematian anak serta membantu perekonomian masyarakat sekitar. Maklum, masalah gizi buruk masih banyak terjadi lantaran keadaan ekonomi masyarakat yang umumnya bekerja sebagai buruh pabrik dan bangunan, penjaga parkir, pengayuh becak, dan lain sebagainya."Program tempe sengaja dipilih karena memiliki kandungan gizi yang bagus bagi kesehatan masyarakat, terlebih bagi ibu dan bayinya. Tempe pun dapat memberikan penghasilan karena bisa dijual di warung atau pasar-pasar tradisional," ujar Debora.Selama empat bulan pelaksanaan program yang dimulai Juli 2010, tercatat 11 orang balita mengalami peningkatan gizi dan 10 ibu kurang mampu mendapatkan pemasukan ekonomi untuk meringankan beban keluarga. Program inilah yang akhirnya mengantarkan Debora menjadi bidan dengan program terbaik kategori Milenium Development Goals 4 pada Srikandi Award 2010 dalam mengurangi tingkat kematian anak.Hingga sekarang, sembari melayani pasien di kliniknya, bidan Debora aktif mencari warga baru yang mau diajarinya berwirausaha tempe. Tak hanya sebagai konseling wirausaha tempe, dirinya pun dipercaya menjadi konseling pribadi untuk segala macam persoalan yang dialami warga. Tak heran kalau ponsel selalu erat di genggamannya, kalau-kalau ada panggilan darurat. "Satu cita-cita lagi yaitu membuka tempat penitipan anak di rumah agar para balita dapat saya kontrol ketika orangtuanya bekerja," ungkapnya tentang keinginannya.