Intisari-Online.com - Lulus sebagai sarjana teknik dari jurusan Aeronautika ITB kemudian bekerja sebagai wartawan di Jakarta Post, Joko Anwar kini lebih dikenal sebagai seorang sutradara dan penulis skenario, juga aktor, dibanding sebagai jurnalis atau teknisi.Sampai saat ini Joko sudah terlibat dalam 13 film, dengan berbagai peran, mulai dari asisten sutradara, penulis, sutradara, pemeran, hingga pengisi suara. Dari berbagai peran tersebut, Joko lebih menikmati peran sebagai penulis dan sutradara, karena memang inilah cita-citanya dari dulu, menjadi film maker.
Empat film yang dibuatnya (termasuk film terbarunya: Modus Anomali), semuanya ditulis dan disutradarai sendiri olehnya. Akibatnya, Joko kadang dikenal sebagai seorang yang arogan. Joko beralasan, “Gue ngerasa lebih paham apa yang gue mau.” Bahkan, untuk ide pun Joko tidak mau dipengaruhi orang. “Apabila ada yang bilang, ‘Jok, tolong buatin script tentang ini, nanti lu sendiri yang nge-direct,’ gue (akan berkata) ‘gak bisa,’” Joko mengambil contoh.
Beberapa pihak juga sempat mengkritisi film-film Joko yang disebut sebagai “film festival,” karena mendapat penghargaan dari festival-festival film terlebih dahulu sebelum film tersebut diluncurkan di bioskop Indonesia. Namun, menurut Joko, dirinya tidak pernah membuat film untuk sebuah festival. Kalaupun akhirnya ikut festival, itu karena ada yang memintanya. Joko sendiri merasa film yang dia buat jadi “tidak jujur” apabila dimuat dengan alasan mengikuti festival film, “Karena kita akan mencari tahu festivalnya kapan dan kriteria dari film yang akan dimuat itu seperti apa,” jelas Joko.
Nah, mengenai kejujuran, pria yang saat kecil menyukai film-film laga dan horor ini selalu menekankan bahwa suatu film itu harus jujur. “Kalau misalnya film dibuat untuk menghibur, ya, tidak usah menggurui,” ucap pria kelahiran Medan, 3 Januari 1976 ini. Dia mengambil contoh film-film Indonesia yang mengusung tema nasionalisme atau religi, padahal pada film tersebut dibuat untuk tujuan komersial. “Kalau membuat film yang menghibur, ya, menghibur saja. Kalau mau membuat film yang mengatakan sesuatu, ya, katakan sesuatu,” tegas sosok yang ditemui di kantornya di Kebayoran Baru, Jakarta..
Joko berpendapat bahwa seorang pembuat film itu seharusnya menempatkan diri sejajar dengan penonton. Apabila sebuah film mengandung pesan yang menggurui, maka itu tidak sesuai dengan esensi film, yaitu “menginspirasi dengan bercerita, bukan menginspirasi dengan berceramah.” Maksudnya adalah dengan membiarkan penonton mengikuti cerita film apa adanya, mengenai pesan dari film tersebut, biarkan saja penonton tersebut mencari tahu sendiri.