Intisari-Online.com - Tahun 1991, Ika Suryanawati baru saja lulus dari Institut Pertanian Bogor saat ia menamatkan buku Revolusi Sebatang Jerami. Buku karya Masanobu Fukuoka itu ternyata begitu membekas dalam benaknya. “Karena buku itulah saya jadi tertarik untuk membuat sebuah usaha tani organik,” kenangnya.
Lewat tulisan Fukuoka, Ika kian mafhum bahwa selama ini manusia selalu memaksakan alam berproduksi melebihi batas kewajaran. Produksi pertanian dimassalkan melalui rekayasa kimiawi. Dengan dukungan Flemming Wong, suaminya, pada 2004 mereka membeli satu hektar lahan di Gasol, sebuah desa di timur kaki Gunung Gede. Di lahan yang subur karena banyak mengandung renzina (hasil pelapukan batuan kapur) itulah muncul cikal bakal komunitas Gasol Pertanian Organik (GPO).
Ika dan Fleming lantas mencari informasi tentang jenis-jenis padi varietas lokal unggulan yang mulai langka, antara lain hawara batu, gobang omyok, peuteuy, banggala, pandan wangi, beureum seungit, ketan cikur, cingkrik, rogol, hawara jambu, dan cogreng. “Tapi informasi sulit didapat,” tutur perempuan kelahiran Cianjur, 44 tahun lalu itu.
Hasil pencarian di lapangan juga nihil. Hampir semua desa yang dulu dikenal sebagai penghasil beras Cianjur didatangi, tapi jawabannya setali tiga uang. Para petani itu mengaku sudah lama tidak menanam lagi jenis-jenis padi yang dicari, dan berganti menjadi varietas impor. Baru di paruh kedua 2006, dari beberapa petani tua di Gasol, tepatnya di lumbung-lumbung milik pesantren, bibit-bibit itu ditemukan. Meski untuk memilih bibit, mereka harus benar-benar teliti karena hampir semua jenis padi sudah bercampur baur.
Saat penanaman mulai berjalan, lagi-lagi mereka menemui kesulitan. Sebab para petani yang diajak bermitra keburu menyerah dengan metode penanaman yang Ika inginkan, yakni sistem satu lubang satu benih. Ini merupakan cara terbaik untuk membuat padi leluasa berkembang, seperti manusia yang tumbuh kembang dengan ruang yang luas. Namun para petani menganggapnya tidak praktis dan membuang waktu.
Meski sepi sambutan, Ika dan Fleming tetap maju dengan biaya lebih mahal karena harus mengupah petani setempat. Mereka konsisten dengan pertanian organik, dengan pupuk kompos dan pupuk kandang yang didapat dari sampah rumah tangga penduduk setempat. Aliran hulu sungai Cianjur yang belum terpolusi juga dimanfaatkan untuk pengairan. Pokoknya semua dari alam.
Terbukti hasilnya sangat menakjubkan. Dalam setahun, padi-padi langka itu tumbuh subur. Panen juga berhasil. “Kami bisa menikmati kembali nasi yang dihasilkan dari berbagai varietas padi lokal yang rasanya pulen dan wangi itu,” ujar Ika bangga. (Hendi Johari/Intisari)