Intisari-Online.com -Menjelang pertemuan tingkat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia mengeluarkan peringatan keras tentang bahaya dari teknologi nuklir sebagai bahan penggerak.
Dalam pertemuan tersebut, diperkirakan akan membahas rencana Australia untuk mengembangkan kapal selam bertenaga nuklir di bawah pakta AUKUS antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat (AS).
Di bawah kesepakatan AUKUS, Australia akan mendapatkan delapan kapal selam bertenaga nuklir canggih yang mampu melakukan misi jarak jauh secara diam-diam.
Terbentuknya AUKUS diyakini dapat membawa dampak politik dan pengaruh signifikan di kawasan Indo-Pasifik khususnya regional Asia Tenggara, baik yang sifatnya menguntungkan ataupun sebaliknya.
Di satu sisi, keberadaan AUKUS dapat menjadi peluang untuk memperkuat pertahanan dan keamanan negara-negara ASEAN khususnya yang tengah berselisih dengan China, melalui jalinan kerjasama militer dengan AUKUS.
Sementara di sisi lain, terbentuknya AUKUS juga menimbulkan kekhawatiran bagi negara-negara ASEAN yang secara geopolitik wilayahnya berdekatan dengan Australia, yaitu ketakutan akan terkena imbas atas persaingan militer yang meningkat ke arah konflik senjata nuklir antar negara terkait.
Kekhawatiran tersebut didasarkan atas realitas bahwa melalui pakta pertahanan AUKUS, AS dan Inggris akan membantu Australia untuk mengembangkan dan mengerahkan kapal-kapal selam bertenaga nuklir, selain mengerahkan militer Barat di kawasan Pasifik
Sementara itu, dalam pengajuan untuk tinjauan PBB bulan depan tentang perjanjian non-proliferasi nuklir, Pemerintah Indonesia mengatakan pihaknya "mencatat dengan khawatir adanya konsekuensi potensial" jika mentransfer teknologi nuklir ke kapal selam dapat berdampak pada tatanan global.
Dokumen yang dikeluarkan Indonesia tidak secara langsung merujuk Australia.
Perwakilan Indonesia pun sudah menegaskan hal ini bukan sebuah tanggapan langsung terhadap pakta AUKUS.
Akan tetapi, Pemerintah Indonesia berulang kali menyampaikan kegelisahan kapal selam berteknologi nuklir milik Australia.
Dokumen yang diajukan PBB mengulangi beberapa argumen yang juga pernah dipakai oleh mereka yang menentang kapal selam nuklir Australia.
Dalam dokumen tersebut tertulis jika "Indonesia menilai setiap kerja sama yang melibatkan transfer bahan dan teknologi nuklir untuk tujuan militer dari negara-negara pemilik senjata nuklir ke negara-negara non-senjata nuklir akan meningkatkan risiko yang berhubungan dengan konsekuensi bencana kemanusiaan dan lingkungan."
Melakukan transfer uranium yang diperkaya untuk kapal selam bertenaga nuklir diizinkan berdasarkan perjanjian non-proliferasi nuklir.
Sementara itu, media Australia melaporkan working paper Indonesia yang dikirim ke PBB untuk Konferensi Peninjauan Traktat Nonproliferasi nuklir (npt Revcon) merupakan respon atas adanya aliansi militer AUKUS yang berisikan Australia, Inggris dan AS.
Pada Jumat (29/7/2022), kantor berita ABC yang berbasis di Australia menerbitkan laporan berjudul "Indonesia Mengkritik Celah kapal selam nuklir dalam Perjanjian NPT yang merupakan bagian dari kesepakatan AUKUS".
Dr Benjamin Zala, pengajar di Australia National University, menyebut working paper Indonesia secara tak langsung merujuk pada Australia.
Zala mengatakan, "Ini belum tentu menjadi perhatian Indonesia, tentang Australia, melainkan tentang cara-cara yang melemahkan upaya internasional untuk menutup jalur menuju proliferasi nuklir."
Menurutnya, working paper yang diajukan Indonesia ke PBB berfungsi untuk mengisi kesenjangan aturan dalam Perjanjian NPT terkait propulsi nuklir angkatan laut yang masih belum diatur.
"Namun, tidak ada keraguan bahwa working paper dari delegasi Indonesia merupakan konsekuensi langsung dari keputusan AUKUS," lanjutnya.
Zala menyebut Australia merupakan negara pertama di kawasan sekitar Indonesia yang memanfaatkan celah aturan kapal selam nuklir.
Dr Zala mengatakan bahwa ia tak percaya rencana kapal selam nuklir akan menjadi "titik temu utama" dalam hubungan Indonesia-Australia.
Namun, hal itu sedikit banyak akan tetap "memberikan tekanan tambahan padanya".
Selain itu, Zala merprediksi delegasi Australia akan "ditanyai beberapa pertanyaan yang cukup runcing" dalam konferensi yang berlangsung di Markas PBB, New York, Amerika Serikat.