Intisari-Online.com - Namanya pernah mencuat di media lantaran penolakan oleh sekelompok orang. Namun dia bergeming. Sebab dia memaknai situasi itu sebagai risiko seorang pamong. Dia adalah Lurah Susan.
***
Setelah semua berkas ditandatangani, Susan menuju ruang kerjanya di lantai dua. Kalau boleh digambarkan, pemilik ruang kerja ini tampaknya adalah orang yang mencintai kebersihan, kerapian, dan keindahan.
Ruangan yang didominasi dengan tembok bercat putih itu tampak bersih, dindingnya dihiasi foto-foto di dalam bingkai. Beberapa foto lain juga disimpan di dalam sebuah lemari kaca – yang terletak di depan meja kerja – termasuk foto ketika dia dilantik sebagai lurah. Khusus untuk foto keluarga, dia letakkan di atas meja kerja.
(Baca juga: Enam Cara Produktif di Tempat Kerja)
Di dinding dekat meja kerja Susan ada sebuah hiasan yang terbuat dari kayu bertuliskan: Fruit of the spirit is love, joy, peace, patience, kindness, faithfull, goodess, self control, gentleness. Sedangkan di meja kerja dan meja tamunya terdapat tanaman hias. Tanaman hidup. Menurut Susan, tanaman hias hidup lebih enak dipandang daripada tanaman hias palsu.
Perempuan pemilik ruangan ini juga memiliki pemikiran terbuka tentang karier. Menurut dia, saat ini, alangkah baik bila semua perempuan mampu berkarier dan memiliki penghasilan sendiri. Pemikiran seperti inilah yang menuntunnya ikut lelang jabatan yang digelar Pemprov DKI Jakarta. Lurah Susan sadar, lelang jabatan adalah kesempatan emas untuk meningkatkan kariernya ke jenjang yang lebih baik.
Namun, keputusan untuk ikut lelang jabatan tidak bisa dia tentukan dengan bulat hati. Dia sempat merasa belum siap karena bekerja sebagai lurah akan banyak menyita waktu, sehingga waktu untuk keluarga semakin sedikit. “Bekerja sebagai lurah semacam kuncen yang pulangnya tidak boleh cepat-cepat,” kata perempuan yang sebelumnya menjabat Kepala Seksi Prasarana dan Sarana Kelurahan Senen, Jakarta Pusat, ini. Lagipula, seorang lurah harus siap bekerja di hari Sabtu dan Minggu.
Berbekal restu suami, R.D. Kaunang, B.S., anak, Claudia Gabriela Kaunang, dan beberapa rekan kerja di Kelurahan Senen, Susan pun berani mendaftar di hari terakhir. Anak perempuannya yang waktu itu masih berusia 17 tahun ikut membantunya melakukan pendaftaran via internet. Selepas pendaftaran, suaminya tak henti menyuruh Susan belajar. “Kalau dia pulang kantor, saya disuruh belajar. Padahal saya sendiri bingung mau belajar apa,” ucapnya sambil tertawa.
(Baca juga: Mengucapkan Tolong dan Terimakasih Bisa Membuat Kita Naik Jabatan)
Sebelum terpilih, lulusan Administrasi Negara di FISIP Universitas Indonesia 1997 ini harus melewati berapa tahap seleksi lelang jabatan. Tahap pertama, seleksi administrasi. Kemudian ada uji kompetensi bidang yang menguji pengetahuannya seputar komunikasi, kewilayahan, pemerintahan, analisis risiko, pemecahan masalah, dan membangun kerja strategis.
Ujian berikutnya adalah uji kompetensi manajerial yang antara lain menyampaikan visi dan misi, tes psikologi, tes kepemimpinan, dan wawancara. Terakhir, uji kesehatan dan verifikasi dokumen.
Saat proses seleksi, Susan ditanya, “Seumpama kamu lulus jadi lurah, kamu mau ditempatkan di mana?” Perempuan kelahiran Jakarta, 3 April 1970, itu menjawab mantap, “Saya siap ditempatkan di mana saja. ”Dan Susan akhirnya lulus dengan nilai 151,64 dan predikat cukup memuaskan.
-bersambung-
Tulisan ini ditulis di Majalah Intisari edisi Mei 2014 dengan judul asli Lurah Susan: “Lurah Itu Kuncennya Kelurahan”