Intisari-Online.com -Sekalipun mendampingi dan melindungi kaum miskin, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya alias Romo Mangung sesungguhnya bukan produk keluarga miskin. “Yang paling dibutuhkan orang miskin adalah harga diri,” katanya di buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia, 1985 - 1986 (1986). “Untuk itu kan saya tidak perlu harus miskin. Saya tidak miskin, paling tidak secara intelektual.”
Lahir di Ambarawa, 6 Mei 1929, sebagai sulung dengan sebelas adik, dari ayah yang ketua DPRD Magelang zaman Belanda. Menamatkan SD di Magelang (1943), SMP di Yogyakarta (1947), dan SMA di Malang (1951). Di masa muda menjadi prajurit. Tahun 1947 - 1948 ia menjadi komandan seksi Tentara Pelajar Brigade XVII, Kompi Kedu. Ia pernah bertugas jadi pengantar makanan komandan batalion Mayor Soeharto (yang kemudian jadi Presiden ke-2 RI) di front Mranggen, Semarang.
Visi hidupnya mulai mengarah ketika dalam usia 16 tahun, ia bersama rekan-rekan prajurit disambut bak pahlawan oleh masyarakat Malang. Tapi komandan batalion Tentara Rakyat Indonesia Pelajar (TRIP), Mas Isman, dalam pidatonya justru menolak, “Kami bukan pahlawan. Kami telah membunuh, membakar, merusak, tangan kami penuh darah. Yang pantas disebut pahlawan adalah rakyat yang terjajah dan teraniaya. Maka jangan mengelu-elukan saya, lebih baik perhatikan anak-anak muda ini, yang bisa berguna nantinya.”
Yusuf Bilyarta tersentak oleh kerendahhatian Mas Isman. Ia “tersinggung” sekaligus tersadarkan. Selain memang tidak layak menyandang gelar pahlawan, kenyataannya ia menjadi bagian dari anak-anak muda yang ditunjuk Mas Isman. Sejak saat itulah, ia menetapkan langkah agar memperoleh peluang buat berguna bagi bangsa, sekaligus membalas budi rakyat. Ia masuk ke seminari, dan tahun 1959 ditahbiskan menjadi pastor Projo yang langsung memimpin paroki serta mendampingi masyarakat.Artikel ini pernah dimuat di Intisari edisi Maret 2000 dengan judul "Romo Mangun: Merakyat untuk Dekat kepada Rakyat".