Intisari-Online.com – “Telah begitu lama aku merasa bahwa dunia sekitarku sudah ditelan oleh keserakahan arus egoisme.” Demikian seorang teman yang bekerja sebuah toko swalayan memulai kisahnya.
“Telah lama saya merasa bahwa hati manusia kini telah berubah dingin dan beku. Tapi sebuah peristiwa yang terjadi beberapa tahun kemarin telah membuktikan bahwa pandanganku di atas adalah kesimpulan yang salah.
Saat itu sebagaimana biasanya, saya sibuk seharian melayani setiap orang yang datang ke toko ini. Tak terasa sudah pukul 1.30 pagi hari. Ketika saya hendak menutup toko untuk kembali, terdengar bell otomatik berdering. Tanpa mengangkat muka, dalam hati aku mengumpat; “Huh...dasar kelelawar dan kucing malam. Sudah jam begini tak pulang ke rumah tapi berkeliaran sepanjang malam.’.”
Namun ketika saya mengangkat wajah, saya dapati seorang gadis cilik kira-kira berumur 15 tahun. Kedua tangannya mengangkat selembar kertas tertulis, “Aku tak dapat berbicara. Bolehkah engkau membantu aku?”
Ternyata gadis cilik ini membutuhkan kotak kardus bekas dan meminta agar saya mengumpulkan kotak-kotak karton kardus untuk diberikan kepadanya. Tanpa banyak bertanya maksudnya, saya lalu menganggukkan kepala menyetujui permintaannya. Dan sejak itu, setiap hari jam 1.30 di pagi buta sang gadis cilik ini akan datang mengumpulkan kotak-kotak tersebut.
Setelah beberapa minggu, ternyata saya telah menjadi sahabatnya. Suatu saat, dengan penuh rasa ingin tahu, saya mengambil sebatang pensil dan menuliskan pertanyaan di atas secarik kertas, “Mengapa engkau mengumpulkan kotak-kotak bekas ini? Apakah orang tuamu tak akan merasa cemas membiarkan engkau berjalan sendirian pada jam begini?”
Tak saya sangka...pertanyaan saya ternyata seakan sebuah kunci keran yang membuka pipa air matanya. Air matanya mengalir tanpa henti, melepaskan semua beban yang selama ini bercokol dalam hatinya.
Oh...Tuhanku. Betapa besar derita yang harus ditanggung gadis cilik ini. Saat ini ia berumur 16 tahun. Sebelum ibunya melahirkan adiknya, ayah gadis cilik itu telah meninggalkan mereka menuju dunia abadi. Dan sang ibu?? Tak berapa lama setelah adiknya tidak menyusui lagi, sang ibu meninggalkan mereka entah ke mana perginya. Gadis cilik yang bisu ini harus berusaha menghidupi dirinya sendiri serta adiknya yang masih kecil. Tak ada pekerjaan lain yang bisa ia lakukan kecuali mengumpulkan kotak bekas untuk dijual. Pedih hati saya mendengar kisah gadis kecil yang tak menyerah pada kerasnya tuntutan hidup ini. Sejak saat itu, setiap hari saya akan mengisi sejumlah roti dalam kotak tersebut, cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka akan rejeki sehari itu. Tak lupa saya masukan minuman ke dalam kotak yang sama. Di samping itu setiap hari saya tak pernah berhenti mencoba mencari pihak yang bisa memberikan bala bantuan.
Sudah beberapa hari, sang gadis cilik ini tak pernah datang lagi. Tentu saja ada kepedihan memenuhi bathin saya memikirkan kemungkinan malapetaka yang terjadi atas diri mereka. Apakah mereka dalam keadaan selamat? Ataukah mereka sedang sakit? Dan...Oh Tuhan, mengapa saya tak meminta alamat tempat tinggalnya? Saya tak tahu di mana ia tinggal dan tak bisa mengunjunginya.
Dalam situasi yang demikian, saya bersiap meninggalkan toko tersebut. Dan di depan pintu, ada sepucuk surat, “Kak, terima kasih berlimpah atas bantuanmu selama ini. Aku dan adikku sudah menjadi anak angkat dari sebuah keluarga yang baik. Saat ini hidup kami telah berubah. Sekali lagi terima kasih berlimpah.”
Sepucuk surat yang singkat. Namun setelah membaca surat tersebut, tak terasa air mataku jatuh tak tertahankan. Bukan kesedihan, tetapi itu adalah air mata keharuan. Ternyata Cinta masih memiliki tempat di bumi. Terima kasih Tuhanku.” (KBS – Kisah Tarsis Sigho, Taipei)