Intisari-Online.com – Seorang misionaris pada suatu sore bepergian dengan berjalan kaki bersama temannya di sepanjang jalan berbukit di Tibet. Mereka terjebak dalam badai salju yang parah.
Saat beristirahat, mereka melihat ke bawah dari tepi lereng yang curam. Mereka melihat seorang asing yang berbaring di salju pada kaki tebing, lebih dari tiga puluh kaki di bawah jalan. Orang asing itu jelas jatuh dari jalan dan membutuhkan perhatian serta bantuan yang mendesak.
Misionaris itu mencoba untuk turun dan menyelamatkan orang itu, sementara temannya berusaha untuk mencegahnya. Ia mengingatkan jika mereka akan kehilangan waktu bila menyelamatkan orang asing itu, dan mereka bertiga bisa beku sampai mati dalam badai salju sebelum mereka mencapai tempat tinggal mereka. Misionaris itu bertekad untuk menyelamatkan orang yang tak berdaya itu dan mengajak temannya untuk bekerja sama. Namun temannya menolak untuk membantu dan berjalan pergi untuk menyelamatkan hidupnya sendiri.
Misionaris itu menuruni lereng dan mencapai orang asing yang terluka itu. Orang asing itu terluka parah dan kakinya patah. Misionaris itu mengangkat orang asing itu di pundaknya, dengan hati-hati menutupi dirinya dengan selimut dan naik ke jalan yang curam dan licin dengan beban berat. Setelah satu jam perjalanan membosankan dengan beban berat dalam badai salju, mereka mendekati desa terdekat ketiga kegelapan sudah dekat. Tubuh misionaris itu basah dengan peluh. Tiba-tiba ia tersandung tubuh manusia setengah terkubur di jalan tertutup es. Mayat beku itu adalah teman sang misionaris yang melanjutkan sendiri perjalanannya demi menyelamatkan hidupnya sendiri. Ia rupanya tidak dapat mengatasi dingin dan beku hingga berujung pada kematian tragis.
Misionaris itu membawa orang asing agar diberikan keselamatan dan kehangatan ke sebuah desa dan memberinya semua bantuan yang diperlukan. Ia ingat bahwa dengan menyelamatkan orang asing itu dengan mengorbankan kenyamanannya sendiri, ia telah menyelamatkan dirinya sendiri. Membawa beban berat, keringat, dan kontak dengan tubuh mereka telah membuat panas tubuh dan menyelamatkan nyawa mereka.
Seorang murid pernah bertanya pada misionaris itu, “Apa tugas kehidupan yang paling sulit?” Misionaris itu menjawab, “Untuk tidak membawa beban!” Hadiah terbesar dari pelayanan tanpa pamrih adalah juga membantu orang yang melayani. Tidak ada lembah yang dalam yang di luar jangkauan kemurahan Tuhan.
Kita mungkin memberi tanpa mencintai, tapi kita tidak bisa mencintai tanpa memberi. Cinta adalah memberikan semua yang kita bisa. Cinta itu seperti senyum, baik, tidak memiliki nilai kecuali diberikan. Ibu Teresa pernah mengatakan, “Bukan berapa banyak yang Anda lakukan, tetapi berapa banyak cinta yang Anda masukkan ke dalam apa yang Anda lakukan yang Anda anggap penting.”
Cinta adalah bahasa yang bisa didengar oleh orang tuli, dilihat oleh orang buta, dan dirasakan bahkan oleh orang lumpuh dan keterbelakangan mental.