Intisari-Online.com – "Winners never quit and quitters neverwin" (pemenang tak pernah menyerah dan pecundang takkan pernah menang). Ini ucapan pelatih sepakbola Amerika Serikat terkenal, Vince Lombardi. Saat Perang Dunia II, Perdana Menteri Inggris Sir Winston Churchill juga menyerukan, "Never, never, never quit".
Dulu, saya amat percaya, "Sukses diukur bukan dari tingginya pencapaian, melainkan dari seberapa besar hambatan yang berhasil diatasi dalam proses mencapai sukses" dan "Tak penting berapa kali Anda jatuh, yang penting berapa kali Anda bangkit kembali setelah jatuh".
Maka, saya putuskan untuk terus maju, tak gentar menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan. Sekejap pun saya tak ingin menyerah, karena tak sudi jadi seorang pecundang. Begitulah selama tujuh tahun, terus mengejar impian tanpa melakukan analisis kritis terhadap situasi dan kondisi kehidupan pribadi. Pokoknya maju terus.
Apalagi diperparah kepercayaan, "Semua orang pada dasarnya orang sukses. Mereka gagal karena mereka menyerah terlalu cepat". Ah, betapa berbahayanya kepercayaan ini.
Jujur pada diri sendiri
Sebaiknya pernyataan itu diplesetkan, " Quitters can win if they know the right reasons, the right way, and the right time to quit".
Pembaca, apakah kita boleh quit? Tentu boleh. Hanya, harus dengan alasan yang tepat. Kita harus jujur pada diri sendiri. Apakah quit karena malas, tidak termotivasi, tidak tahan menderita, kurang ulet, ataukah kita quit karena setelah bekerja sangat keras dan berusaha dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, tapi apa yang kita lakukan ternyata tidak sejalan dengan value atau nilai-nilai hidup kita?
Quit bukan hanya untuk mereka yang belum berhasil mencapai sesuatu. Seorang konsultan keuangan sukses di Jakarta, pada usia 40 tahun memutuskan untuk quit dan banting setir menjadi seorang pelukis. "Saya merasa jauh lebih tenang dan bahagia. Inilah impian saya sejak lama, menjadi orang yang bebas berekspresi," katanya.
Nilai hidup adalah kompas
Tak sedikit orang mendaki tangga kesuksesan, dan setelah mencapai puncak tangga, ia baru sadar ternyata tangganya bersandar di tembok yang salah. Mengapa begitu? Kebanyakan kita tidak merancang hidup dengan hati-hati dan saksama, tak punya peta kehidupan.
Peta kehidupan dibuat dengan lebih dulu membuat daftar impian tertulis. Impian ini harus lengkap meliputi berbagai aspek kehidupan. Ada aspek spiritual, finansial, bisnis-karier, materi, sosial, keluarga, kesehatan fisik dan mental. Langkah awal menyusun impian adalah dengan mencari tahu, menetapkan, dan menyusun nilai-nilai hidup.
Nilai hidup adalah apa yang kita yakini sebagai hal yang penting bagi hidup kita. la berperan sebagai kompas yang mengarahkan perahu kehidupan kita. Dengan nilai hidup sebagai fondasi, impian yang disusun tidak akan menyimpang dari tujuan hidup kita. Dengan demikian saat mencapai puncak kesuksesan kita justru akan semakin bersemangat dan bahagia. Jadi, ukurannya seberapa bahagia kita saat mencapai impian.
Panggilan hati
Kawan saya, Lan Fang, dulunya agen asuransi sukses. Namun hatinya selalu gelisah, merasa asuransi bukan dunia yang sesuai dengan panggilan hatinya. la senang menulis.
Akhirnya, Lan Fang mengikuti suara hatinya, menjadi seorang penulis buku. la quit dengan alasan yang tepat, di saat yang tepat, dan dengan perencanaan yang tersusun baik dan matang. Sampai saat ini Lan Fang telah menulis delapan novel. Reinkarnasi, Laki-laki Yang Salah, Perempuan Kembang Jepun, dan Kota Tanpa Kelamin adalah beberapa contoh.
Nah, siapa bilang quitters never win! Sering the real winner adalah mereka yang berani quit. The real loser justru mereka yang bersikeras berkata, "Never, never, never quit". Anda perlu hati-hati agar tidak menjadi pemenang di antara pecundang hanya karena Anda adalah yang paling tidak mau quit. (Adi W. Gunawan – Intisari Oktober 2008)