Intisari-Online.com – Setiap orang yang mengunjungi museum pasti menginjakkan kakinya di hamparan lantai marmer sambil melihat dengan penuh kekaguman pada patung marmer di dekat pintunya. Pemandangan yang terjadi setiap hari tersebut membuat Marmer Lantai menjadi berang kepada Marmer Patung.
”Ini tidak adil! Masak saya dijadikan keset, setiap hari diinjak-injak orang,” umpat si Lantai kepada Patung di sebelahnya. ”Padahal kita ’kan berasal dari tempat yang sama. Tapi coba lihat? Kamu selalu dikagumi orang, sementara saya dicuekin.”
”Sobat,” jawab Patung sambil tetap membisu, ”Kok, ingatanmu begitu pendek. Kita memang berasal dari batu gunung yang sama, tapi pastilah kau sudah lupa, apa yang terjadi setelah itu?”
”Tidak!” jawab si Lantai ketus.
”Cobalah Kau ingat kembali. Ketika desainer memotong-motong kita dari lereng gunung, kau menolak peralatan pahat yang hendak mengukirmu.”
”Tentu saya tidak mau!” teriak Lantai, ”Tindakan itu menyakitkan. Saya tidak perlu dibentuk.”
”Karena kau melawan ketika hendak dipahat, akhirnya sang desainer memilih aku,” jelas Patung. ”Aku bersedia menanggung segala penderitaan dan rasa perih akibat pahat.”
”Wah, aku tidak sampai berpikir seperti itu.”
”Begitulah. Kau sudah menyerah di tengah jalan,” balas Patung, ”Makanya sekarang tidak usah menyesal. Jangan lagi menyalahkan orang-orang yang menginjakmu.”
Marmer yang kinclong ibarat cermin bagi kita. Seperti kata Sydney J. Harris, rasa sesal atas apa yang telah kita perbuat lambat laun akan terkubur oleh waktu, tapi sesal atas segala sesuatu yang tidak kita lakukanlah justru sulit disembuhkan. Kalau bisa ngomong, cermin itu akan bercerita tentang sejarah hidup kita. (Intisari)