Intisari-online.com—Hari terasa begitu panas, matahari sedang terik-teriknya. Bikin ubun-ubun kepala terasa sakit. Hari ini Fatia akan mudik, pulang ke kampung halaman, merayakan idul fitri dengan keluarga dan kerabat. Mood Fatia untuk mudik sedikit rusak hari itu, gara-garanya adalah panas dan sesaknya terminal bus.
Tapi ya sudahlah, bagaimanapun penderitaan berdesak-desakan di kepadatan penumpang dan bau bus akan tergantikan dengan kebahagiaan bertemu keluarga di kampung, begitu pikir Fatia. Ia sedikit mual ketika masuk ke dalam bus. Bus non-AC ini yang akan mengantarnya ke kampung halaman dalam waktu sekitar lima jam ke depan. Peluhnya mulai bercucuran, rasa haus mendera, maklum sedang puasa.
Banyak pedagang asongan yang menghampiri Fatia melalui jendela bus, menawarkan dagangannya entah itu tisu, air minum, masker, bahkan takjil persiapan untuk berbuka. Karena Fatia juga sedang mengirit, ia sudah mempersiapkan bekalnya dari kos tempat tinggalnya. Namanya juga mahasiswa, mesti mengirit biar hemat.
Kejadian-kejadian yang membuat kesal di siang hari itu datang bergantian. Anak dari seorang penumpang menangis tidak berhenti, padahal bus sudah mau jalan. Bus penuh sesak dengan berbagai orang yang berbeda. Ada anak muda yang acuh saja sambil mendengarkan musik, ada yang mulai mual tidak tahan karena berbagai macam aroma di bus, bahkan ada pula yang sudah tertidur. Semua itu membuat Fatia ingin segera keluar dari bus itu.
Akhirnya, setelah bus mulai berjalan, Fatia memutuskan untuk tidur. Dua jam perjalanan berlalu, Fatia terbangun karena anak-anak yang tadi menangis mulai rewel lagi. Sampai-sampai ibunya kewalahan. Belum lagi, ternyata jalan menuju kampung Fatia macet. Bus berhenti begitu saja. Sedangkan jalur sebaliknya lancar-lancar saja.
Walau agak kesal dengan kemacetan, akhirnya Fatia mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Ia mengamati semua kendaraan yang lewat. Rata-rata memang pemudik, namun ada pula truk besar dan kecil dengan muatannya masing-masing. Entah itu kayu, pasir, barang dagangan, dll. Sesekali Fatia mendengar alunan musik dangdut dari kendaran-kendaraan yang lewat itu.
Entah ada angin dari mana, Fatia mulai memperhatikan wajah setiap sopir yang mengendarai truk dan bus-bus yang lewat. Rata-rata kulit mereka menghitam karena debu dan asap kendaraan. Fatia terpekur, bertanya dalam hati “apakah mereka melakukan hal ini setiap hari? Berpeluh lelah demi sesuap nasi?”
Dari pengamatan Fatia, para sopir itu tidak terlihat kesal dengan kondisi panas, macet, debu, dan ributnya jalanan. Malahan asyik berdendang mengikuti musik dangdut yang suaranya juga tidak terlampau jernih. Seketika, Fatia mengarahkan pandangannya juga ke dalam bus. Anak muda yang tadi mendengar musik tersenyum padanya. Ibu dengan anak yang terus rewel tadi terlihat agak kelelahan dan mulai tertidur bersama anaknya yang tidur. Ia memandang semua penumpang, tidak ada yang menunjukkan tampang bersungut-sungut karena hari yang panas dan sesak itu.
Sontak Fatia beristighfar dalam hati. Bagaimana mungkin ia begitu bersungut-sungut hari itu? Karena panas, sesak, dan bau? Padahal di sekelilingnya banyak orang-orang yang tidak mengeluh akan keadaannya. Lama merenung, Fatia menginsyafi, kemungkinan paling besar hanyalah satu, orang-orang yang dilihatnya tadi adalah orang-orang yang mensyukuri segala keadaan. Bukan saja mensyukuri hal yang membuat nyaman dan menyenangkan, namun juga mensyukuri dan menerima situasi apapun yang terjadi. Fatia tersenyum, memutuskan mensyukuri pelajaran berharga yang didapatinya hati itu. Sebab rasa syukur, tidak boleh terlupakan, apapun kondisinya.