Intisari-Online.com – Dua orang pemuda, Arya dan Seta, berguru memanah kepada Resi Bhirawa. Semasa mudanya, Resi Bhirawa adalah pemanah ulung. Setelah tua, ia menyepi di hutan dan mengajarkan ilmunya kepada kedua muridnya itu.
Arya dan Seta sama-sama pemanah berbakat. Sulit menentukan, siapa yang lebih pandai. Keduanya juga rajin berlatih dan selalu patuh kepada Resi. Hanya watak mereka yang sedikit berbeda. Arya berwatak keras, angkuh, dan sangat ingin menjadi pemanah terbaik. Sebaliknya Seta berwatak lembut, rendah hati, dan selalu menyembunyikan kemampuannya.
Setelah merasa cukup memberikan ilmu, Resi Bhirawa berpesan kepada kedua muridnya.
"Muridku, sudah saatnya kalian meninggalkan padepokan ini. Kejarlah cita-cita kalian di luar sana. Pesanku, jadilah orang baik dan selalu membela kebenaran."
Arya dan Seta memberi hormat, dan dengan berat hati meninggalkan gurunya.
Arya melanjutkan perjalanan menuju istana kerajaan Kahuripan. Berkat kepandaiannya memanah, ia diterima menjadi prajurit. Tidak lama kemudian ia diangkat sebagai prajurit kepala.
Seta memilih untuk hidup tentram di desa. Ia bertani dan sesekali berburu. Untuk menjaga kemampuannya, ia rajin berlatih memanah.
Suatu ketika, Prabu Awangga, Raja Kahuripan, mengadakan sayembara memanah. Pemenangnya akan menjadi menantu raja. Menjadi suami Putri Dewi Sekar Sari. Sayembara tersebar sampai ke pelosok desa dan negara-negara tetangga.
Sebagai pemanah, Arya sangat yakin akan menjadi pemenang. "Tidak akan ada yang sanggup mengalahkan aku!" kata Arya dengan sombong kepada teman-temannya.
Hari perlombaan akhirnya tiba juga. Ribuan rakyat berkumpul di lapangan, menyaksikan jago-jago pemanah bertarung. Para pangeran, panglima, dan orang biasa mempertunjukkan kehebatan memanah. Penonton berdecak kagum dan bersorak-sorak memberi semangat.
Pada akhirnya, memang Arya-lah yang menjadi pemenang. Tak ada yang bisa mengalahkannya. Anak panahnya selalu tepat mengenai sasaran. Penonton bersorak-sorai menyambut kemenangannya.
Perdana Menteri bersiap hendak mengumumkan pemenang sayembara. Namun tiba-tiba ada pemuda yang bersenjata panah, maju ke tengah gelanggang.
"Tunggu!" teriaknya.
Arya terkejut. Pemuda itu adalah Seta, saudara seperguruannya.
"Ada apa anak muda? Kenapa kau menyela pengumumanku?" tanya Perdana Menteri agak marah.
Seta menghaturkan sembah. "Ampun Perdana Menteri. Nama hamba Seta. Hamba ingin bertanding dengan sang juara. Apakah masih diperkenankan?" tanya Seta tenang.
Perdana Menteri berunding dengan petinggi yang lain. Akhirnya, Seta diijinkan bertanding dengan Arya.
Kedua pemuda itu dengan gagah beriring menuju lapangan. Arya berjalan dengan sombong, sementara Seta tampak tenang dan rendah hati.
Di babak pertama, mereka membidik sasaran di papan yang bergaris lingkar. Pada babak ini nilai keduanya sama-sama imbang. Di babak kedua, mereka membidik sasaran burung yang terbang. Lagi-lagi keduanya tidak ada yang kalah.
Pada babak terakhir, keduanya disuruh menentukan jenis pertandingan. Arya memilih sasaran buah apel yang diletakkan di atas kepala peserta secara bergantian. Penonton berdebar-debar. Namun kembali keduanya berhasil memanah secara tepat.
"Sekarang giliranmu Seta! Tentukan sasaran yang harus dipanah!" tegas Arya.
Seta kemudian meminta dua batang bambu yang sama besar dan panjangnya. Kedua batang bambu digantung di dahan pohon, di atas kolam yang jernih. Separuh batang bambu di atas air, separuhnya di dalam air. Di dalam air, terlihat batang bambu menjadi bengkok.
"Bidiklah bambu di dalam air. Anak panah yang menancap pada bambu, adalah pemenangnya," jelas Seta.
Kedua pemanah bersiap-siap menunggu aba-aba. Setelah aba-aba dibunyikan, secepat kilat mereka membidik sasaran. Anak panah Arya menuju bayangan bambu yang bengkok. Sementara Seta membidik daerah yang sejajar dengan bambu di permukaan air.
Ketika bambu diangkat, ternyata anak panah Seta menancap pada sasaran. Sedangkan anak panah Arya meleset. Para penonton berseru terkejut. Arya terlihat lemas dan kecewa. Namun, sebagai ksatria ia mengakui kemenangan Seta dan memberikan selamat.
"Selamat atas kemenanganmu. Bagaimana kau dapat membidik dengan tepat?" tanya Arya.
"Dengan ilmu dan kebijaksanaan," bisik Seta. "Kadang pandangan mata bisa menipu. Karena itu jangan selalu melihat sesuatu dari luarnya."
Arya menganggukkan kepala. Kini ia berjanji tidak sombong dan membanggakan diri.
Seta akhirnya menjadi menantu Raja Awangga. Ia tetap hidup rendah hati dan bahagia dengan istrinya. Arya diangkat menjadi panglima kerajaan dan menikah dengan adik Putri Sekar Sari, yaitu Putri Intan Sari. Kedua pemanah itu menjadi pelindung kerajaan yang membanggakan seluruh negeri Kahuripan. (Rahmat Siswoko – kidnesia)