Belum lama ini ada sebuah learning forum bertema kesehatan, di kantor Gramedia of Magazines, di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Topik pembicaraannya seputar bagaimana kesehatan dapat diperoleh dengan murah. Pembicaranya sosok yang tak asing bagi pemerhati masalah-masalah kesehatan, dr. Handrawan Nadesul. Penulis beberapa buku kesehatan ini membuka ceramahnya dengan sebuah pernyataan yang langsung bikin penasaran, “Manusia itu sebenarnya memiliki potensi berumur sampai 120 tahun.”
“Ah, yang bener. Bercanda kalee …,” pikir saya.
Ia kemudian berbagi cerita tentang penduduk di Okinawa, Jepang, yang usia harapan hidupnya seratusan tahun dan bagaimana gaya hidup populasi mereka telah menjadi rujukan riset bangsa-bangsa di luar Jepang. Ia lalu melontarkan pertanyaan yang juga muncul di dalam benak saya, “So, mengapa manusia umumnya mencapai usia di sekitar 60- 80 tahun saja?”
Memori saya melayang pada seorang kakak yang beberapa waktu lalu sempat mondar-mandir ke ruang praktik dokter. Keluhan yang dirasakan cukup serius: ada perdarahan lewat anus. Ada kecurigaan terjadi semacam infeksi di ususnya. Lebih seram lagi, ada kekhawatiran akan hadirnya keganasan. Kondisi usus pun diperiksa lewat endoskopi. Hasilnya sangat mengherankan sekaligus melegakan: ususnya baik. Normal, tak ditemukan apa pun. Tapi darah itu masih saja keluar. Dokter menyimpulkan, sumbernya stres. Obat-obatan diganti dengan suplemen yang menyehatkan flora usus. Yang terpenting, ia dipersilakan mengidentifikasi sumber masalah penyebab stres. Tanpa mesti berpikir terlalu lama, ia segera tahu apa yang harus diperbuat. Ketika itu sudah beberapa bulan ia bergabung dengan sebuah perusahaan asuransi sebagai insurance agent. Sebagai tenaga marketing wajar saja ia memiliki target menggaet sekian klien dalam sebulan. Tapi barangkali ia tak punya "darah" marketing. Hal yang biasa bagi banyak rekan-rekannya, dirasakan begitu berat baginya. Setiap kali akan bertemu dengan calon klien, seolah ada beban seratus kilogram menggelayuti pundaknya. Begitulah, setelah ia mengajukan pengunduran diri dari perusahaan asuransi tersebut, ajaib, kondisinya berangsur normal.
Ada lagi seorang teman yang pernah memeriksakan mata karena penglihatannya tiba-tiba tertutup noktah bulat yang mebuat penglihatannya buram. Dokter mata, usai memeriksa, cuma berkata, “Bapak barangkali sedang stres?” Dia membatin, "Lo, kok tahu?" Saat itu pikirannya sudah berminggu-minggu galau memikirkan nasib investasinya di pasar saham. Nah, begitu masalah itu terpecahkan, sim salabim, penglihatannya normal kembali.
Jangan-jangan, yang membuat kita gagal mencapai usia seratusan tahun sebenarnya ya kita sendiri. Cocok dengan yang diungkapkan dr. Handrawan Nadesul dalam bukunyaSehat Itu Murah(2011):“Untuk sehat, peran gen dalam sel tubuh itu hanya sepertiga. Sisanya soal gaya hidup.”
Sudah lama kita berpikir bahwa sehat itu berarti “tidak sakit”. Kini kita tahu bahwa “tidak sakit” belum berarti sehat dalam artinya sepenuhnya bugar. Faktor-faktor kesehatan yang “tak kelihatan” namun mendasar seperti kesehatan jantung dan pembuluh darah, kondisi mental dan spiritual, bersama-sama kondisi fisik, semuanya menyetorkan perannya dalam menghasilkan kondisi “sehat”. Apakah sehat sekadar dapat berfungsi sehari-hari, atau sehat luar dalam, sumringah jiwa dan badan?
Kini semakin banyak dokter melakukan pendekatan holistik pada pasiennya. Seorang ahli bedah tulang di Jakarta yang saya kenal, memilih menunggu pasiennya bersedia dioperasi atas kemauan sendiri, karena menurutnya, pasien yang dioperasi tanpa kehendak sendiri memiliki ambang batas sakit lebih rendah ketimbang yang dengan sepenuh hati ingin dioperasi. Artinya lebih tahan sakit. Tampaknya paradigma bahwa kesehatan itu mesti dicapai dari segala aspek semakin diterima banyak pihak. Bahwa untuk jadi sehat itu tak cuma soal olah fisik, vitamin, obat ,dan apa yang kita makan dan minum semata. Optimisme, harapan, kegembiraan, semangat tinggi, iman kepada Yang Mahakuasa dapat juga dipandang sebagai “obat-obatan atau vitamin” yang tak boleh diabaikan perannya dalam menentukan bagaimana mekanisme tubuh akan berfungsi.
Bukti yang paling nyata bahwa kondisi kesehatan tubuh sangat dipengaruhi oleh gaya hidup, amat nyata ketika orang mulai berpuasa. Manfaat puasa bagi kesehatan kini dapat dibaca di mana-mana. Dari fungsi detoksifikasi sampai ke yang lebih bersifat psikologis dan spiritual. Mudah-mudahan ini membuat tekad kita semakin bulat untuk membuat ibadah yang indah di bulan puasa ini menjadi ibadah yang memberi berkah. Tak hanya bagi kesehatan jiwa dan badan sendiri, namun juga bagi orang-orang di sekitar kita. Karena badan yang sehat, mental yang yang segar dan gembira, dan kondisi spiritual yang penuh kasih, bukankah akan menjadi "virus positif" yang membawa kehangatan dan kedamaian? Selamat menunaikan ibadah puasa 1 Ramadhan 1432 Hijriah.