Intisari-Online.com - Sudah lihat Majalah Intisari edisi terbaru? "Lebih segar. Intisari memasuki era desain. Menarik. Lebih dinamis." Itu sebagian komentar masuk, di samping beberapa keluhan dan protes, biasanya dari pembaca setia tentang hilangnya ini dan itu. Ketika sesuatu yang baru menggeser yang lama, selalu saja terjadi dialog dan perdebatan seberapa banyakunsur-unsur lama akan dipertahankan, dan seberapa “baru”-nya penyegaran akan dilakukan. Perdebatan selalu ramai, karena pemahaman mengenai apa yang disebut bagus dan baik itu terus berubah.
Tentang mengapa mesti berubah, mengingatkan saya pada pengalaman baru-baru ini. Saya berkesempatan mendengarkan Symphony no. 9-nya Beethoven. Bukan lewat CD player, tetapi menonton pergelaran sebuah orkestra lengkap, Seattle Symphony, bersama Seattle Symphony Chorale dengan konduktor Gerard Schwarz akhir tahun lalu. Sebuah karya yang usianya hampir 200 tahun ternyata masih mampu menyedot penonton begitu banyak sampai tak satu pun kursi kosong. Akibatnyasaya hanya kebagian tempat duduk deretan terdepan (yang artinya paling “buntut”, tapi tak apalah). Simfoni yang megah itu, bahkan disebut “majestic”, menghentak, membuai, dengan keakuratan digital. Lalu saat koor masuk ke bagian Ode of Joy (pernah dinyanyikan dengan pendekatan pop sebagai Song of Joy), terus terang, buku kuduk saya sampai berdiri.
Pulang dari sana saya pun membatin: kalau karya klasik sudah demikian hebatnya, mengapa dunia masih membutuhkan genre-genre musik baru, dari jazz sampai R & B, hip hop dan seterusnya? Mengapa pula kita demikian kehilangan ketika Steve Job, sang pendobrak kemapanan yang ulung, pergi untuk selama-lamanya?
Bahwa perubahan adalah suatu keniscayaan pernah diungkapkan oleh John F. Kennedy, presiden AS ke 35:Change is the law of life. And those who look only to the past or present are certain to miss the future. Siapa pula yang mau kehilangan masa depan? Kata-kata itu sebuah peringatan yang keras bagi siapa saja yang memutuskan bahwa dia tak butuh perubahan.
Majalah Intisari yang Agustus tahun ini akan memasuki tahun ke-50 tak lepas dari hukum perubahan itu. Lebih mudah untuk bernostalgia pada kejayaan masa lalu, dan memilih untuk leha-lehaaman di ruang-ruang yang sudah biasa kita tinggali.Tetapi kita semua tahu, itu sama saja dengan memasukkan Intisari ke dalam kotak bernama “sejarah”, menguncinya di sana, dan membiarkannya meranggas kesepian, terisolir dari dinamika yang terus terjadi. Intisari telah tumbuh karena curahan kasih pembaca dan pengelolanya. Tapi dielus-elus saja tentu tak cukup,Intisari juga perlu diberi nutrisi yang baik, pakaian baru, dibawa ke suasana baru, diperkenalkan dengan gaya dan dandanan baru. Gaya penyampaiannya kini lebih lugas, kedalamannya tak melulu disampaikan lewat teks, tetapi juga lewat kekuatan desain dan ilustrasi. Maka kepada desain diberikan peran lebih luas dari sekadar pemanis dan pemulas akhir. Ia tak hanya menegakkan segi estetika tetapi semakin muncul sebagai sarana penyampaian ide yang memperkaya pemahaman pembaca. Namun, seperti halnya karya-karya klasik, untuk tetap bertahan, Intisari niscaya harus berupaya mempertahankan kekuatan “klasik”-nya: smart and inspiring. Cukup cerdas untuk menggunakan sarana komunikasi, desain, dan bahasa yang “connect” dengan kekinian, tetapi tetap bahkan makin kuat dalam inspirasi, agar tetap dbutuhkan dan dicintai.Besar kemungkinanakan terjadi tawar-menawar danpenyesuaian-penyesuaian sebelum Intisari menemukan rumus "baik"nya yang baru. Masukan dari pembaca, jelas menentukan. Bukankahdi situ esensi menjadi "muda": berani mempertanyakan diri, berani belajar, termasuk berani mengambil risiko keliru langkah. Sejarah telah membuktikan, kemajuan dicapai bukan dengan menutup diri melainkan dengan belajar dari kesalahan. ??Anda, pembaca Intisari-online yang belum pernah membaca Majalah Intisari, saya undang untuk membacanya agar dapat membantu kami dalam menemukan bentuk baru yang pas. Berikan komentar Anda lewat akun Twitter kami di@intisariOnline, Facebook: Majalah Intisari.Terima kasih (sebelumnya).
Bagi semua saja yang merasa dirinya sudah mapan dan sulit menerima perubahan, simak pesan dari tokoh feminis Gloria Steinem ini: The first problem for all of us, men and women, is not to learn, but to unlearn.