Intisari-Online.com - Sebelas orang anggota grup Kopassus telah mengakui, merekalah yang berkolaborasi menjatuhkan “hukuman mati” ala superhero film Hollywood di Lapas Cebongan. Padahal solidaritas, sesuai makna katanya yang positif, harusnya memberi hasil mulia.
Tiba-tiba saya teringat pada cover story Majalah Time (ed. 1 April 2013): HOW TO CURE CANCER. Menurut data World Cancer Research Fund International, pada tahun 2008 ada 12,7 juga kasus kanker di seluruh dunia. Sedangkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, 70% kematian akibat kanker terjadi di negara-negara berkembang.
Di AS, setiap hari ada sekitar 4.500 penderita baru, sehingga tahun ini diprediksikan bakal ada 1.63 juta kasus baru kanker dan sekitar 580.350-nya akan meninggal akibat penyakit tersebut. Di negara kita, dapat dirasakan, “serangan kanker” makin mendekat: entah teman, sahabat, atau bahkan anggota keluarga inti kita sendiri.
Lalu muncul Stand Up To Cancer (SU2C), sebuah inisiatif untuk mendorong percepatan dalam riset kanker. Bukan berarti para peneliti kurang bekerja keras. Hanya selama ini lahan pergulatan soal kanker juga medan pergulatan antara para ilmuwan yang sangat kencang aroma persaingannya.
Di sisi lain, kanker adalah gabungan antara kolaborasi gen liar, hilangnya inhibitor pertumbuhan, berubahnya hormon dan epigenom (catatan berupa senyawa kimia pada DNA), dan sel-sel beringas yang memberontak. Bicara dalam konteks kemiliteran, kanker menyerang dari segala penjuru.
SU2C yang lahir tahun 2008 menggandeng Entertainment Industry Foundation (EIF). Mereka menghadapi kanker dengan pendekatan produksi film blockbuster: dana berlimpah, kumpulkan tenaga terbaik, lakukan pengawasan melekat, dan tetapkan tenggat waktu ketat! Tidak hanya menggalang dana, SU2C membentuk “dream team”, terdiri atas ilmuwan-ilmuwan kelas pemenang nobel untuk berkolaborasi melawan kanker.
Sejak didirikan, lembaga nirlaba ini telah menggalang dana sebesar AS$262 juta, membiayai 487 peneliti dan berhasil mengajak 87 lembaga untuk bergabung. Bahkan perubahan paradigma dari persaingan menjadi kolaborasi, juga mulai diadopsi oleh National I Institute of Health (NIH), lembaga riset tertinggi di AS.
Dunia riset kanker memberi inspirasi bahwa kolaborasilah jawaban untuk menundukkan “musuh”. Biarlah superhero-superhero tetap menjadi bagian dari dunia hiburan. Alangkah indahnya bila kolaborasi dan solidaritas korps dapat melahirkan inisiatif-inisiatif yang membangun dan menghidupkan. Bukan sebaliknya.