Antara Akil, Aqil, Akal, dan Okol

Tjahjo Widyasmoro

Editor

Antara Akil, Aqil, Akal, dan Okol
Antara Akil, Aqil, Akal, dan Okol

Intisari-Online.com -Lagi-lagi, rakyat negeri ini tersentak oleh sebuah berita mengejutkan. Apa lagi kalau bukan tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menangkap basah seorang pejabat tinggi negara tatkala ia hendak menerima sejumlah uang yang diduga uang suap. Ironinya, pejabat tersebut adalah seorang Hakim Mahkamah Konstitusi, bahkan menjabat sebagai Ketua di lembaga hukum yang sangat terhormat itu.

Hingga detik ini, pemeriksaan terhadap hakim yang juga mantan anggota DPR itu masih berlangsung. Pengadilan juga - mungkin - baru akan digelar beberapa waktu lagi. Masih terlalu pagi untuk memvonisnya bersalah. Meski agaknya, sulit bagi dia untuk mengelak dari segala tuduhan.

Di tengah samudera cercaan dan cacian di dunia maya, perhatian saya justru tergelitik oleh tulisan Anab Afifi di akun Facebook-nya, berjudul Akil: Antara Akal dan Perut. Penulis yang juga teman saya pada masa berkuliah itu mencoba menyelisik arti kata “akil”, terinspirasi dari nama hakim yang tertangkap tadi, Akil Mochtar.

Anab menulis: akil berasal dari Bahasa Arab yang memiliki arti “pemakan” atau “si pemakan”. Kata dasarnya “akl”. Setelah melalui proses morfologi (shorof), kata tersebut bentukan dari akala – ya’kulu – akil.

Dalam Bahasa Arab juga ada kata aqil yang bagi telinga kita orang Indonesia akan terdengar mirip akil. Menariknya, meski orang akan menganggap dua kata itu homofon (memiliki persamaan bunyi) namun arti keduanya sangat bertolak belakang. Aqil artinya orang yang berakal atau yang bisa menggunakan akal sehatnya.

“Menariknya, antara "akil" dan "aqil" keduanya memiliki hubungan nilai-nilai filosofis yang tinggi. Hanya dengan mengubah huruf kaaf pada "akil" menjadi huruf qoof pada "aqil", keduanya menjadi pemaknaan yang memiliki nilai-nilai keberadaban manusia.” “Akal akan menjadi tumpul, jika mulut terlalu banyak digunakan mengisi perut dan bukan untuk mendukung daya pikir. Meskipun pada titik tertentu, manusia sering tidak bisa bekerja dengan akal pikirannya ketika perutnya kosong.“ “Salah satu inti ketinggian derajat makhluk bernama manusia yang membedakannya dengan binatang, oleh Tuhan diberikan nafsu makan dan kemampuan mengelola daya pikirnya atau akal sebagai pengolah logika serta pencerna kebenaran.” “Dan ketika manusia tidak mampu mengendalikan hasratnya sebagai "akil", maka tidak ubahnya dengan binatang ternak yang hanya mengunyah sepanjang hidupnya. Demikian kitab suci katakan.”

Mengingat tidak menguasai Bahasa Arab, saya cuma bisa manggut-manggut saja membaca penjelasan Anab yang memang jebolan pesantren itu. Dan belum lagi kekaguman saya hilang, seorang teman lain tiba-tiba menyambar di kolom komentar Facebook: “Sekarang ditambah pakai okol, plakkk!”

Okol = otot.

Oh, rupa-rupanya saat sudah ditahan, hakim itu masih berulah, dengan menampar wartawan :(