Melemahkan Negara, Tak Sengaja

Mayong Suryo Laksono

Editor

Melemahkan Negara, Tak Sengaja
Melemahkan Negara, Tak Sengaja

Intisari-Online.com -Pemerintahan masih setahun, tapi kerja sebagian menteri seperti dalam situasi demisioner. Ada yang sibuk memasang foto diri di media (apalagi di kantornya, termasuk kantor perwakilan atau kantor wilayah) namun kerjanya tidak jelas, ada yang sibuk keliling karena (telanjur) ikut konvensi Partai Demokrat, ada yang mengada-ada menambah serapan anggaran, ada yang tak kunjung selesai belajar menjadi pemimpin sambil menikmati punya banyak pelayan.Tapi itu semua tak seberapa. Lama kelamaan demokrasi akan mengajarkan situasi transisional ketika sebuah masa jabatan akan berakhir - dan tokoh yang sama tidak akan terpilih lagi.Yang seberapa (ini lawan kata dari "tidak seberapa" ya?) adalah betapa bangunan kenegaraan dalam beberapa tahun belakangan makin lemah. Terlepas dari perekonomian yang tumbuh di angka 6% (meski kata para ekonom itu bukan jaminan mengingat basis pertumbuhannya adalah konsumsi dan bahan bakarnya utang luar negeri), secara kebangsaan kita berjalan ke warna suram. Hampir semua institusi formal pemerintah terjangkiti virus korupsi, dan hampir setiap orang merasa berhak untuk menyampaikan pendapatnya lewat caranya sendiri.Lebih "seberapa" lagi, perjalanan ke arah warna buram itu disebabkan oleh para menteri. Kedelai langka, garam yang diimpor, juga daging sapi yang kuotanya dibagi di kalangan teman sendiri, adalah buah hasil dari menteri yang tidak mampu bekerja semestinya. Tanpa sadar, kebijakan mereka mengancam ketahanan pangan bangsa.Lantas Ujian Nasional yang dikatakan membuat banyak orang senang kecuali para pelajar itu, masih menempatkan ukuran di atas kualitas sebenarnya seorang murid. Apalagi lantas menjadi syarat kelulusan dan masuk ke tingkat pendidikan lebih tinggi. Tanpa sadar, dunia pendidikan kita dilemahkan dengan hanya bertumpu pada acuan dasar dan satu-satunya yang bernama UN itu.Yangkonyol adalah cara Menteri Dalam Negeri mencoba mengayomi semua pemerintahan daerah dengan caranya sendiri. Antara lain mengusulkan evaluasi kebijakan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta soal lelang jabatan yang berbuah seorang lurah memerintah di suatu wilayah namun diprotes karena agama yang dianut. Tak berselang lama, menteri itu juga menyatakan bahwa organisasi massa adalah aset bangsa dan setiap pemerintah daerah bisa mengajak ormas dalam menjalankan pemerintahannya. Konyolnya, yang dia jadikan contoh adalah FPI.Barangkali saat itu di benak Pak Menteri tidak ada contoh ormas lain kecuali FPI.Mau contoh lain?Menteri Kehutanan yang bukannya menjaga hutan tapi malah mengizinkan hutan taman nasional untuk dikonversi, juga tanpa sengaja melemahkan daya dukung alam kita. Menteri yang berwenang menjaga pertambangan malah mengizinkan pemerintah daerah membuka tambang seluas-luasnya. Padahalah pemerintah daerah juga sama saja, mementingkan pendapatan daripada penjaga masa depan daerah dan kehidupan rakyatnya.Konflik tak diselesaikan, dan putusan pengadilan tertinggi tak kunjung jadi eksekusi karena kepala daerah takut akan kelompok penekan. Semua orang merasa bisa berbuat sekehendak hati karena tak ada larangan, tak ada tindakan, apalagi keteladanan. Kalau ini terus dibiarkan, pelemahan itu akan terus terjadi.Karena revolusi bukan pilihan, kita hanya bisa berharap, semoga pemerintahan mendatang bisa menjalankan amanat penderitaan rakyat. Betul-betul menjalankan, bukan hanya menyatakan menjalankan.