Intisari-Online.com -Hubungan diplomatik Indonesia dan Australia sejak Rabu (20/11/2013) memanas, setelah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono minta “penjelasan” tentang berita penyadapan telepon dirinya, istrinya, dan beberapa pejabat tinggi di lingkaran dekat Presiden oleh agen rahasia Australia pada tahun 2009. Ia juga membekukan kerja sama dengan Australia dalam masalah pengendalian pengungsi gelap dan pelatihan dalam bidang militer.---
Suasana panas makin terasa gerah setelah terluncur respons Tonny Abbot, PM Australia yang berkata, “Saya tidak akan meminta maaf untuk tindakan yang dilakukan demi keamanan Australia.” “Pertempuran” antara Indonesia dan Australia bahkan sudah terjadi di dunia maya, seperti yang dilaporkan oleh Kompas.com. Prajurit-prajurit siber yang menamakan diri “Anonymous Indonesia” memburu korban situs-situs Australia.
Di kalangan orang Australia sendiri pendapat terpecah-pecah. Ada yang menyalahkan PM Kevin Ruud PM Australia pada tahun 2009, ada yang bilang, respons Indonesia terlampau reaktif, kekanak-kanakan. Malah ada yang dengan sarkastik menuding, Indonesia pasti “ada maunya” dengan sikap galaknya ini.
Yang menarik adalah komentar Alexander Downer, mantan Menlu Australia dengan masa jabatan terlama. “Setiap negara berhak untuk melakukan langkah-langkah spionase demi keamanan negerinya. Bahwa Indonesia protes keras, ya sangat dapat dipahami.“ Tetapi Australia tidak bersalah sehingga tidak perlu minta maaf (seperti yang dilakukan Barack Obama kepada Angela Merkel, kanselir Jerman, untuk kasus yang mirip).
Downer melanjutkan, “Saya sangat yakin, hubungan antara kedua negara akan pulih demi kepentingan nasional masing-masing. Kepentingan kedua negara janganlah sampai tersandera oleh akibat dari perilaku Edward Snowden yang sangat menjengkelkan, juga tindakan tak bertanggung jawab koran Inggris The Guardian.”
Motivasi penyadapan Snowden
Edward Snowden (30) adalah spesialis komputer mantan karyawan CIA. Dia pernah juga bekerja pada sebuah perusahaan yang menjadi kontraktor National Security Agency (NSA) AS. Dalam pekerjaannya ia mendapatkan akses ke dokumen-dokumen rahasia yang mengusik rasa kemanusiaannya. Pemerintah AS dan pemerintah beberapa negara lain melakukan pengintaian dengan cara menyadap pembicaraan pribadi pimpinan negara lain, bahkan mempunyai akses terhadap kehidupan setiap warga negara.
Ketika identitas Snowden pertama kali diungkapkan oleh Koran The Guardian (atas permintaan Snowden sendiri) pada 9 Juni 2013, Snowden memberikan uraian begini, “Tak ada maksud saya sedikit pun untuk menyembunyikan diri, karena saya tidak melakukan kesalahan apa pun.” Ia sengaja menyatakan identitas dirinya, agar rekan-rekan kerjanya jangan sampai menjadi sasaran perburuan.
“Saya tidak ingin hidup di sebuah masyarakat yang melakukan hal-hal ini (pengawasan terhadap warganya). Saya tidak ingin hidup di dunia di mana semua yang kita kerjakan dan kita ucapkan terekam. Motivasi satu-satunya dalam melakukan ini adalah memberikan informasi kepada publik tentang sesuatu yang dikerjakan atas nama mereka, tetapi yang juga melawan (kepentingan) mereka.”
Pada 12 Juli 2013, di hadapan organisasi-organisasi hak azasi manusia, ia menyatakan, “Amandemen ke 4 dan ke 5 dari konstitusi negara saya, Artikel 12 tentang Deklarasi Universal Hak-hak Azasi Manusia, dan banyak traktat dan peraturan lain melarang diberlakukannya sistem pengawasan (oleh negara) secara masif dan menyeluruh terhadap rakyat. Menurut Konstitusi AS program-program begini melanggar hukum, tetapi pemerintah saya bersikukuh bahwa ada aturan-aturan rahasia, yang disembunyikan terhadap dunia, telah melegalkan program-program tersebut. “
“Saya meyakini prinsip yang dideklarasikan di Nuremberg pada tahun 1945 yang berbunyi: ‘Setiap orang memiliki kewajiban-kewajiban terhadap dunia internasional yang mengalahkan ketaatannya terhadap negara. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya kejahatan terhadap perdamaian dan kemanusiaan, setiap warga dunia wajib melanggar hukum negaranya.”
Sebagai akibat dari prinsipnya itu, Snowden dengan sengaja telah membocorkan sekitar 200,000 dokumen rahasia pemerintah AS kepada pers. Salah satunya memuat tentang tindak penyadapan Australia terhadap pejabat-pejabat Indonesia.
Snowden: Pahlawan atau Pengkhianat?
Bagaimana nasib Snowden kini? Berstatus buronan, Snowden kini tinggal di Rusia sebagai pelarian politik. Keberhasilannya lolos dari agen-agen CIA dan Cina ketika ia berada di Hongkong, telah dibuat film pendek berjudul Verax yang dapat dilihat di YouTube. Bukan hanya itu, sebuah film berjudul Classified: The Edward Snowden Story, dijadwalkan akan diluncurkan 19 September 2014. Film yang pendanaannya dilakukan secara crowdfunded tersebut akan bebas untuk di-download.
Kisah pelariannya yang dramatis sampai difilmkan dan akan diluncurkan tahun depan. Dalam pelariannya, Snowden telah menerima dua penghargaan, "whistleblower prize" dari Jerman dan Sam Adams Award dari empat orang whistleblower dari AS. Sebuah universitas, University of Rostock's Philosophy, juga di Jerman, sedang mempertimbangkan untuk menganugerahi Snowden gelar honoris causa atas “keberaniannya sebagai warga negara dan pemberontakan sipilnya”.
Sedangkan Anda, dengan sebutan apakah akan memanggilnya? “Pahlawan kemanusiaan, whistle blower (pengadu), pemberontak, pengkhianat negara, atau patriot kemanusiaan?” Sebuah pertanyaan yang membutuhkan keberanian dan keberpihakan, karena tindakan Edward Snowden yang telah merepotkan banyak pihak itu, pada akhirnya mengerucut pada pertanyaan dasar: kepentingan siapakah yang lebih akan kita bela: negara dengan alasan keamanan nasional, atau warga negara dengan alasan mempertahankan kebebasan dan hak azasinya?