Intisari-Online.com - “Hah, kamu tidak punya Facebook, Twitter, Instagram, atau media-media sosial lain?” seru saya kepada seorang sobat lama yang kebetulan ngopi bareng sore itu.
Sungguh susah dipercaya jika melihat status ekonomi dan gaya hidupnya yang di atas rata-rata. Tapi itulah kenyataannya.
Dari dulu, dia memang enggan membuka akun di Facebook atau media sosial apa pun. Alasan dia, tidak ada gunanya dan lebih banyak mendatangkan efek buruk.
Mungkin, dan saya yakin, sobat saya tidak sendirian. Ada banyak orang di luar sana yang enggan mempunyai akun media sosial. Bukan karena gaptek tapi memang tidak mau membuatnya dengan alasan khusus.
Misal, mereka menganggap media sosial membuat orang jadi lebih sering berkeluh kesah, pamer kekayaan, atau menebarkan kebencian.
Sah-sah saja bagi mereka yang beranggapan seperti itu. Namun, pada sisi lain ada banyak orang yang justru mendapat banyak manfaat. Lihat saja Indah Maulida, seorang perias wajah di Jakarta.
Sekitar 70% pelanggannya datang dari Instagram! Selain mendatangkan pelanggan baru, berpromosi lewat media sosial Indah juga bisa menekan biaya promosi.
Dia tak perlu lagi membuat brosur, membayar orang untuk menyebarkannya, dll. Silakan baca artikel “70% Pelanggan Datang Dari Instagram”.
Ibarat kata, media sosial adalah word of mouth yang didigitalisasikan. Orang-orang yang jeli akhirnya memanfaatkannya untuk mendongkrak bisnis. Minimal, mengoptimalkan kekuatan promosi word of mouth yang dimiliki media sosial.
Pada akhirnya, media sosial memang mirip sebuah pisau. Manfaat atau efek yang didapatkan bergantung kepada niat dan skill penggunanya. Bisa melukai tapi juga bisa menguntungkan.
Tetiba saya teringat ucapan pembuat film dan motivator asal Amerika Serikat, Greg S. Reid, “Kesempatan adalah emas tersembunyi di balik sebuah sudut pandang. Ia menunggu orang yang berinisiatif menghampiri dan dapat menemukannya.”
Tabik.
--
Dapatkan Majalah Intisari edisi Februari 2016 dengan mengunjungi tautan ini.
Penulis | : | Yoyok Prima Maulana |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR