Eksekusi Pengadilan dalam Pembagian Harta Warisan

Ade Sulaeman

Editor

Eksekusi Pengadilan dalam Pembagian Harta Warisan
Eksekusi Pengadilan dalam Pembagian Harta Warisan

Intisari-Online.com - Salam hangat bagi para Lawyer di LBH Mawar Saron.

Beberapa waktu yang lalu Pengadilan Agama Jakarta Barat memutus sengketa warisan antara saya dan beberapa saudara kandung saya. Warisannya adalah 5 unit ruko di Tanah Abang, sebidang tanah di Tangerang, dan 8 unit rumah kontrakan di daerah Slipi.

Seluruhnya dibawah penguasaan saudara-saudara kandung saya. Padahal bagian kami masing-masing telah ditetapkan dalam putusan pengadilan tersebut.

Pada awalnya kami semua menerima isi putusan tersebut, tanpa ada satu pihak pun yang menyatakan Banding. Namun saat ini saya melihat keanehan.

Sampai sekarang pun warisan tersebut tidak juga dijual sehingga tidak bisa dibagi-bagi. Saudara-saudara kandung saya selalu menunda-nunda tanpa alasan yang jelas. Padahal saya tahu bahwa penundaannya hanyalah agar mereka tetap dapat menikmati keuntungan dari aset-aset tersebut.

Saya pun semakin terheran-heran saat saya minta Pengadilan melakukan eksekusi, mereka malah mengatakan tidak dapat dieksekusi. Saya ingin bertanya:

  1. Apakah putusan pengadilan tersebut memang tidak dapat dieksekusi?
  2. Apakah saya dapat secara paksa menjual seluruh aset tersebut?
Sekian pertanyaan saya, terima kasih.

Jawaban

Terima kasih atas pertanyaan saudara.

  1. Kami asumsikan bahwa isi putusan tersebut hanya menetapkan bagian-bagian warisan, tanpa ada perintah untuk melaksanakan (eksekusi) pembagian warisan. Hal ini terjadi karena Gugatan yang saudara buat tidak sekaligus memohonkan agar harta warisan segera di eksekusi pembagiannya.
Apabila memang hal itu yang terjadi, maka pengadilan telah bertindak sebagaimana mestinya. Dalam Hukum Acara Perdata terdapat asas “Hakim bersifat pasif” dalam menangani perkara (secendum allegata iudicare). Maksudnya, hakim memeriksa dan memutus perkara berdasarkan hal-hal yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa, tanpa melakukan pengembangan perkara ke hal-hal yang tidak diajukan kepada hakim. Tidak ada pasal dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur secara tegas, namun asas tersebut telah menjadi dasar/fondasi dalam praktek peradilan perdata di Indonesia.

Sebagai turunan dari asas tersebut, dalam perkara perdata hakim juga dilarang memberi keputusan mengenai hal-hal yang tidak dimohonkan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3)Herzeine Inlandsche Reglement (HIR), yang menyatakan:

“(2) Hakim wajib mengadili atas segala bagian gugatan.

(3) Ia tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan daripada yang digugat”

Dengan kata lain, hakim tidak akan memberikan putusan melebihi dari hal yang dimintakan oleh Penggugat (ultra petitum). Dengan tidak adanya permintaan pelaksanaan pembagian harta warisan, maka tidak ada dasar hukum bagi pengadilan untuk melakukan eksekusi terhadap bagian warisan saudara.

Namun apabila misalnya isi putusan Pengadilan tersebut telah memerintahkan dan menghukum para pihak untuk segera membagi harta warisan tersebut maka anda boleh mencoba memasukan permohonan untuk eksekusi atas objek putusan tersebut dengan dasar hukum pasal 196 HIR yang menyatakan :

“jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai mencukupi isi keputusan itu dengan baik, maka pihak yang dimenangkan memasukkan permintaan; baik dengan lisan, baik dengan surat, supaya keputusan itu dijalankan, yaitu kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195. Maka ketua itu menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta menasehati, supaya ia mencukupi keputusan itu didalam waktu yang ditentukan oleh ketua itu, selam-lamanya delapan hari.”

Berdasarkan permohonan ini Ketua Pengadilan Negeri setempat akan mengeluarkan teguran (aanmaning) kepada pihak yang kalah untuk segera menjalankan putusan secara sukarela, jika tidak terhadap objek putusan tersebut dapat dilakukan penyitaan untuk selanjutnya dilakukan pelelangan.

  1. Untuk segera menjual suatu harta warisan, harus dengan persetujuan dari seluruh ahli waris sah lainnya. Apabila para ahli waris telah bersepakat, maka penjualan dapat dilakukan. Penjualan tanpa ada persetujuan dari seluruh ahli waris yang sah berpotensi terjadi Tindak Pidana Penggelapan. Tindak Pidana Penggelapan diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan:
“barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana dendan paling banyak sembilan ratus rupiah”

Dalam hal tidak adanya kesepakatan untuk melakukan penjualan, saudara dapat mengupayakannya agar harta warisan segera dijual dan kemudian dibagi-bagi menurut bagiannya masing-masing. Saudara dapat memintakannya dengan mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 188 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan:

“Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan.”

Selain melalui Pengadilan Agama, berdasarkan penetapan bagian waris yang telah ada, saudara dapat memilih mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum kepada Pengadilan Negeri. Hal ini dikarenakan saudara-saudara kandung tersebut telah menguasai barang yang bukan milik mereka. Saudara dapat menuntut pengembaliannya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 574 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang isinya:

“Pemilik barang berhak menuntut siapa pun juga yang menguasai barang itu, supaya mengembalikannya dalam keadaan sebagaimana adanya.”

Selain itu, saudara juga dapat mengajukan ganti kerugian atas tindakan-tindakan yang merugikan saudara. Berdasarkan Pasal 579 KUHPerdata, pihak-pihak yang menguasai suatu barang yang bukan miliknya dengan itikad buruk memiliki kewajiban untuk:

“1. mengembalikan segala hasil suatu barang beserta barang itu sendiri, bahkan juga hasil yang kendati tidak dinikmatinya, sedianya dapat dinikmati oleh pemilik; tetapi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 575, boleh ia mengurangkan atau menuntut kembali biaya yang dikeluarkan guna menyelamatkan barang itu selama dalam kekuasaannya dan juga biaya demikian yang dikeluarkan guna memperoleh hasil itu, yakni untuk penanaman, pembenihan dan pengolahan tanah;

2. mengganti segala biaya, kerugian dan bunga;

3. membayar harga barang bila ia tidak dapat mengembalikan barang itu, juga manakala barang itu hilang di luar kesalahannya atau karena kebetulan, kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa barang itu akan lenyap juga, sekalipun besit atas barang itu dipegang oleh pemiliknya.”

Demikian jawaban kami, terima kasih atas perhatiannya.

Dasar Hukum

  1. 1. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman);
  2. 2. Herzeine Inlandsche Reglement (HIR);
  3. 3. Kompilasi Hukum Islam (KHI);
  4. 4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); dan
  5. 5. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).