Intisari-Online.com - Sejak peristiwa Santa Cruz (1991), seorang diplomat luar hanya tahu dua hal soal Indonesia: Bali dan Belo. Belo, peraih Nobel Perdamaian 1996 itu memang lantang bersuara sejak tragedi berdarah di pemakaman Santa Cruz, tak jauh dari kediamannya. Di balik itu, ia khawatir radikalisme para pemuda Timor Timur justru menjadi bumerang karena dilawan dengan tindakan represif. Sebuah generasi akan hilang. Itu berarti hilang pula orang Timtim. Berikut cuplikan dari buku From the Place of the Dead karya Arnold S. Kohen, wartawan NBC, Australia.
... Tolonglah berdoa untuk saya, sebab sekarang saya menghadapi tekanan dari dua sisi: Indonesia dan pemuda (Timor Timur) ... Tentara (Indonesia) menyalahkan saya dengan mengembangkan demonstrasi-demonstrasi dan kaum muda menyalahkan saya karena menjual diri ke Indonesia, sebab saya tidak membolehkan mereka berdemonstrasi di rumah saya ... (Surat Belo kepada Arnold S. Kohen pada 5 September 1993)
Demonstrasi sudah menjadi acara rutin di Timtim setiap ada kunjungan tamu. Tuntutan kemerdekaan menjadi agenda utama. Puncak demonstrasi itu adalah Tragedi Santa Cruz, 12 November 1991. Hari itu mayat Sebastiao Gomes (18) yang tewas dalam peristiwa Motael pada 28 Oktober 1991 diarak dari Gereja St. Antonius di Motael ke Pemakaman Santa Cruz.
Hanya saja ada beberapa orang yang ikut dalam arak-arakan itu dengan misi berbeda. Seorang pegawai senior gereja Katolik menyatakan, prosesi itu disusupi aktivis-aktivis muda yang membawa spanduk bertuliskan "Viva Kemerdekaan!" "Viva Timor Leste!", dan "Viva Xanana Gusmao!" Bendera gerakan perlawanan nasionalis juga dikibarkan.
Tiba-tiba terjadi baku hantam ketika seorang mayor Indonesia dengan rombongannya yang membawa bayonet menyeberang barisan. Mayor itu berusaha merebut bendera yang dibawa seorang perempuan dengan merobohkannya ke tanah. Beberapa cerita menyebutkan, mayor itu kemudian ditusuk oleh pacar perempuan itu.
Peristiwa penusukan itu tidak menghentikan arak-arakan. Masih sekitar 800-an meter untuk sampai pemakaman. Tapi, setelah massa berkumpul - beberapa di dalam dan lainnya di luar pemakaman - tiba-tiba tentara Indonesia datang dan langsung menembakkan senjata ke kerumunan, saat doa untuk Sebastiao baru dimulai.
Ratusan orang berlarian ke rumah Belo minta perlindungan. Awalnya, Belo menolak mereka masuk karena marah tidak diberi tahu soal arak-arakan itu. Tapi ia melihat daerah itu (rumah Belo tak jauh dari lokasi) sudah dipenuhi tentara dan polisi. Tak ada waktu untuk berdebat, apalagi seorang gadis ABG dengan baju berlumuran darah mengiba, "Sembunyikan kami, atau mereka akan membunuh kami."
Belo segera menyuruh mereka masuk. Ada sekitar 315 orang bersembunyi di rumahnya. Ia segera merawat yang terluka di klinik gereja dan kemudian memberi makanan. Ia kemudian menelepon Gubernur Carascalao untuk melihat kondisi mereka. Ia mencoba tetap bersikap tenang, apalagi setelah ibu-ibu berdatangan sambil menangis, mengabarkan bahwa anak-anak mereka dibunuh.
Tentara masih ada di pemakaman ketika ia menuju ke sana. Melihat Belo datang, banyak tentara yang segan bertemu dan segera menyingkir. Ia kemudian melihat ada bercak darah menuju kapel. Di dalam kapel ia melihat ada enam anak muda luka serius, beberapa karena pukulan, lainnya akibat luka peluru yang menganga. Belo mengenal satu di antara mereka, Thomas Ximenes, seorang guru misionaris dari Ermera.
Seruan Paus tak berguna
"Tak ada yang bisa saya lakukan kecuali memberi penguatan kepada mereka. Militer tak membolehkan lebih dari itu," kenang Belo dengan muka menyesal. Palang merah internasional (ICRC) pun tidak boleh masuk ke kuburan Santa Cruz saat itu. Belo tak lama di pemakaman mengingat ada 315 "pengungsi" di rumahnya. Setelah kunjungan Paus tahun 1989, tentara mulai mengancam akan masuk ke halaman keuskupan untuk menangkap mereka yang mengungsi. Uskup kemudian menelepon polisi pukul 11.00 dan menerima janji mereka untuk tidak ikut turut campur.
Ia kemudian menghubungi pastor yang memiliki hubungan dengan tentara untuk meminta bantuan memindahkan pengungsi menggunakan kendaraan tentara. Antara pukul 13.00 – 18.00 ia mengantar anak-anak muda itu pulang ke rumah masing-masing. Tapi operasi penyelamatan itu ia hentikan setelah ada yang membuntuti. Ketika kembali ke rumahnya, ia menjumpai banyak anak muda yang tadi dia antar pulang, kembali ke rumahnya menghindari pengejaran tentara.
Esok harinya ia minta izin ke rumah sakit tentara. Ia sungguh kaget menjumpai orang-orang yang kemarin dia antar ke rumah masing-masing kini terbaring di rumah sakit. Ada yang luka memar karena pukulan, ada yang luka berat. Uskup Belo berdoa kepada dirinya sendiri, pelan ia berkata, "Saya harus menceritakan kengerian ini kepada dunia, tak peduli apa yang mereka lakukan kepada saya."
Peristiwa di rumah sakit tanggal 13 November itu bukanlah akhir tragedi, tapi justru permulaan. Waktu berkunjung pertama kali, ada lebih dari 100 korban dirawat di sana. Tapi hari berikutnya tinggal 89 orang. ICRC baru boleh melihat korban Santa Cruz di rumah sakit setelah seminggu lebih kejadian itu berlalu.
Peristiwa itu membuat lembaran sejarah Timtim terisi tinta hitam. Kata-kata Paus yang baru saja berkunjung, "Saya berharap persoalan Timtim bisa diselesaikan melalui cara yang menghormati aspek-aspek keadilan, hak asasi manusia, dan hukum internasional."