Intisari-Online.com - Perubahan di Portugal membuat Amerika waswas. Rezim lama memang diktator, tapi lebih bersahabat. Sedangkan rezim baru cenderung condong ke Soviet. Di sisi lain, perang di Indocina mendekati akhir. Masa depan Asia Tenggara menjadi tak pasti. Indonesia sebagai negara yang penting di kawasan itu menjadi "mainan" Kissinger.
Antarpartai sendiri sedang mencoba menggalang koalisi. Di antaranya UDT dan Fretilin, diprakarsai oleh Ramos Horta. Sayang Jakarta meng-'obok-obok". Dalam kacamata Belo, operasi-operasi intelijen yang dilakukan oleh Jakarta berupaya untuk melakukan apa saja demi menciptakan chaos. "Sungguh suatu campur tangan terang-terangan yang tanpa malu. Mereka ingin menaburkan buah pahit dalam masa yang tak pasti itu," Belo mengingat.
Chaos itu terjadi tanggal 11 Agustus 1975 ketika UDT menduduki Dili. Instalasi pemerintah mereka kuasai, termasuk peralatan komunikasi yang digunakannya untuk meminta pemimpin Fretilin menyerah. Fretilin yang didukung oleh tentara Portugis asal Timtim tentu saja tak bisa digertak. Pertempuran pun pecah, terutama di pedalaman. Ketika tentara-tentara pendukung Fretilin keluar barak, UDT terdesak. Pertempuran pun tak seimbang dan Fretilin bisa mengambil alih Dili pada 20 Agustus. Granat dan mortir beterbangan di langit saat Belo ada di dermaga sedang menunggu boatyang akan membawanya pulang ke Fatumaca melalui Baucau. Jalan melalui darat akan sangat berbahaya.
Perang saudara antara UDT dan Fretilin, menurut Palang Merah Internasional (ICRC) telah memakan korban 1.500 orang. Perang itu sendiri konon tidak lepas dari campur tangan Jakarta melalui propaganda yang mereka lancarkan seperti mencap Fretilin sebagai komunis maupun cerita bohong adanya keterlibatan militer Cina dan Vietnam dalam perang itu. Sementara itu, Jakarta juga menyabotase setiap tawaran perdamaian dengan menolak masuknya Portugis sebagai mediator. Gereja, yang tidak bisa berpolitik, tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali berusaha mencegah terjadinya invasi oleh Indonesia.
Karena melalui laut tidak bisa, Belo akhirnya memutuskan untuk keluar dari Timtim melalui darat. Melalui kota Maliana ia dan rombongannya, biarawati-biarawati Dominikan dan beberapa pastor, masuk ke perbatasan Indonesia yang diyakini sebagai jalan keluar dari pertempuran. Perjalanan itu sendiri perjalanan yang sulit dalam panas musim kemarau. Di perbatasan itu pun telah terkumpul sekitar 20.000 pengungsi.
Akhirnya, para pengungsi dikumpulkan di Atambua di bawah penjagaan militer Indonesia. Ketika gubernur Timor Barat berkunjung, para pengungsi diharuskan bersorak-sorai dan meneriakkan slogan pro-Indonesia.
Ia berada di Atambua selama sebulan, sebuah periode yang cukup untuk mempelajari bahasa Indonesia. (Setelah ia pergi, kebrutalan meningkat karena jatah makanan pengungsi disunat akibat mereka menolak menyatakan mendukung penyatuan ke Indonesia.) Karena tidak mungkin untuk kembali ke Dili atau Fatumaca, atasannya di Ordo Salesian menyuruhnya untuk melanjutkan sekolah di luar negeri. Dengan bantuan Uskup Atambua, ia menuju Makao.
Di Makao itulah, melalui Radio Makao, Belo mendengar invasi Indonesia atas Timor Timur. Dengan kesedihan mendalam ia berkata pada dirinya bahwa Timor Timur telah kehilangan kesempatan untuk merdeka selama-lamanya. "Saya berpikir akan banyak kesulitan yang harus dihadapi Timor Timur." Ia lalu berdoa berjam-jam ditemani dinding-dinding sekolah Don Bosco. Benaknya memikirkan kepedihan yang akan "menaungi" rakyat Timtim.
Kepedihan itu telah mulai bersamaan dengan invasi itu sendiri. Dalam skala kecil, invasi itu bisa dibandingkan ketika Jepang "memperkosa" Nanking akhir 1937 sampai awal 1938. Belo memperkirakan ada sekitar 250.000 lebih jiwa yang meninggal. Seorang pastor di Dili menyatakan, dalam hari pertama invasi, ada 2.000 orang, termasuk 700 orang Cina, ditembak. Gereja menjadi tempat persembunyian yang relatif aman. Para wanita mendatangi rumah uskup untuk mencari perlindungan.
Berita tentang invasi itu sendiri terhambat karena adanya upaya penggelapan fakta. Wartawan yang meliput langsung masuk perangkap tentara, ke mana-mana selalu dikawal dan hanya boleh meliput tempat-tempat tertentu. New York Timesbaru memuat masalah itu dalam editorialnya tanggal 24 Desember 1979. Mereka kemudian mengirim wartawan James M. Markham yang telah berpengalaman meliput di Vietnam, untuk bertemu dengan para pengungsi yang berada di Portugal. Setelah dijamin kerahasiaannya, para pengungsi itu mau berbicara. "Saya merasa seperti kembali ke Saigon," simpul Markham. Dili bagaikan kota penuh teror yang dikelilingi mata-mata dan informan, ungkap seorang pengungsi. Seorang pengungsi wanita menambahkan bahwa setiap orang ingin angkat kaki. "Inilah negeri setan."
Bantuan kemanusiaan baru bisa masuk pertengahan 1979. Tidak banyak yang bisa diperbuat terhadap puluhan ribu penduduk, mungkin 200.000 atau lebih. Pada akhir 1979 ICRC membandingkan kondisi di Timtim dengan kondisi di Biafra dan Kamboja, dua tempat ketika krisis kemanusiaan buruk terjadi dalam sejarah modern. Kepala Catholic Relief Service (LSM berbasis di Amerika) perwakilan Timor Timur menyatakan, inilah persoalan berat yang dihadapi selama 40 tahun berkecimpung dalam membantu umat manusia.
Tugas saya adalah kesetiaan.
Kondisi trauma psikologis seperti itulah yang dihadapi Belo ketika ia kembali ke Timtim akhir Juli 1981. "Kini rakyat mengalami penindasan tanpa ujung, hak-hak mereka tidak diakui. Rakyat tidak memiliki suara dan hidup dalam ketakutan," begitu pengakuan sebuah lembaga keagamaan dalam dokumen refleksi menyambut kedatangan Belo.
Trauma akibat invasi memang dalam. Seperti yang dituturkan Monsignor Martinho da Costa, apostolic administratorTimtim (karena masih berstatus belum pasti, Timtim langsung di bawah kendali Vatikan). "Gereja Katolik, menempuh semua risiko, melaporkan kepada dunia peristiwa yang terjadi selama pengepungan empat hari di dekat Rock of St. Anthony di Lacluta dengan jumlah korban lebih dari 500 orang Timtim terbunuh." Martinho juga menulis surat perihal yang sama kepada temannya di Australia.
Surat itu membuat Martinho diganti. Awal tahun 1983, Paus Yohanes Paulus II memilih Carlos Filipe Ximenes Belo, yang masih muda (baru dua tahun ditahbiskan) dan belum memiliki pengalaman mengatur jemaah gereja, sebagai penggantinya. "Semoga aku bisa mempertanggungjawabkan apa yang kuputuskan hari ini di hadapan Tuhan," kata Paus waktu memilih Belo.
Gebrakan pertama Belo adalah memakai bahasa Tetum untuk perayaan misa (sebelumnya pakai bahasa Indonesia). Ia juga sering berkomentar dan mengeluarkan pernyataan yang membuat merah kuping penguasa Jakarta. Juga tentang dilarang masuknya ICRC. Belo sendiri dilarang memberikan ekaristi bagi napol. Surat itu berimbas ke Amerika. Ketika George Shultz (waktu itu Menlu AS) berkunjung ke Jakarta, ia bilang kepada Menlu (waktu itu) Mochtar Kusumaatmadja bahwa surat Belo berpengaruh terhadap kongres dan Paus. Indonesia pun menyalahkan Belo.
Ketika diwawancarai Michael Richardson dari The Age (harian Melbourne, Australia) yang dipublikasikan 16 Juli 1984, Belo berkata tegas, "Saya siap dipindah jika itu harga dari memperjuangkan HAM dan hak-hak rakyat Timor Timur. Kebenaran harus diungkap." (Di kemudian hari, ketika ada isu ia akan dipindah oleh Vatikan, Belo kembali berkata, "Segala kemungkinan bisa terjadi. Itulah kalau politik dan diplomasi masuk ke urusan soal agama. Dan uskup bisa dipindah atas saran penguasa. Jika mereka mengirim saya ke Afrika, saya akan pergi ke Afrika. Jika mereka menyuruh saya ke neraka, saya akan segera ke neraka. Tugas saya adalah kesetiaan.")
Dalam wawancara itu, yang juga dimuat di Washington Post, wali gereja Timtim ini menyatakan bahwa situasi Timtim sangat kritis, dengan operasi tentara Indonesia yang meneror rakyat dalam upaya melawan Fretilin dan orang yang disangka simpatisan Fretilin. "Rakyat Timtim menderita karena militer Indonesia di satu sisi, dan karena Fretilin di sisi lain." Belo menambahkan, "Tapi saya tidak berpikir Fretilin adalah komunis. Aspirasi nyata mereka adalah untuk penentuan nasib sendiri. Tapi semua orang yang ingin menentukan nasib sendiri di Timor Timur dicap komunis oleh penguasa Indonesia."