Saya jadi teringat bahwa kursi yang diduduki BK itu sebenarnya sering pula diduduki orang-orang yang sepaham maupun yang tidak sepaham dengannya. Sudiro, Hardi, Soenarjo, Sutan Syahrir, Maria Ulfah, Suwiryo, Sumanang, Adam Malik, Maruto Nitimihardjo, Roeslan Abdulgani, Muchtar Lubis, Rosihan Anwar, Oey Tjeng Hien, Soedjatmoko, Prijono, Muljadi Djojomartono, Maladi, B.M. Diah, Manai Sophiaan, Chaerul Saleh, Iskaq, Djatikusumo, Oemar Seno Adjie, Wirjono, Soeprapto, Sukardjo Wirjopranoto, Bambang Sugeng, dan Iain-lain.
Bahkan salah seorang Pahlawan Revolusi, Letjen S. Parman, masih duduk dengan santai di kursi itu, sekitar dua belas jam sebelum dibunuh dengan kejam di Lubang Buaya. Saya sampai terguncang, ketika mendengar berita bahwa pasien saya mengalami penyiksaan yang mengerikan itu.
Selama lebih dari setahun merawat gigi BK, kami tak pernah membicarakan soal politik, tak pernah ia marah-marah dan percakapan kami selalu penuh gelak tawa. Saya teringat pada teman saya, Muchtar Lubis, yang semasa disekap bertahun-tahun di masa Orde Lama, juga selalu kelihatan tabah di kursi praktik saya. Saya sampai pernah bertanya kepadanya, "Muchtar, pernahkah kau menangis?"
"Hanya kalau sedang sendirian," jawab Muchtar.
Mengerti apa itu kesepian
Suatu kali BK pernah berkata, "Ibu juga ingin datang berobat kemari." Saat itu hampir terlontar dari lidah saya, "Ibu yang mana?" Namun, betapapun akrabnya hubungan kami, saya kira tidak sepatutnya saya mengeluarkan pertanyaan itu.
Saat itu dua anak saya sedang menuntut ilmu di Universitas Amsterdam. Kedua adik mereka akan segera menyusul. Jadi saya hanya akan berdua saja dengan istri saya di Jakarta. Kami pasti akan merasa sangat kehilangan. Jadi kami pikir, daripada keluarga kami terpisah-pisah, lebih baik kami pindah saja ke Amsterdam.
Ketika BK datang pada bulan Februari 1968, saya beritahukan rencana kami untuk pindah ke Negeri Belanda pada akhir Maret.
"Tidak perlu menjelaskan kepada Bapak apa artinya kesepian. Bapak mengerti. Kita masih akan berjumpa beberapa kali lagi 'kan?" jawabnya.
Pertengahan Maret, BK menyatakan ingin pulang ke Bogor dulu, padahal saya membutuhkan kedatangan BK sekali lagi untuk memasang tambalan emas. Kami berjanji akan bertemu untuk terakhir kalinya pada 21 Maret 1968.
Ternyata antara tanggal 21-30 Maret ada Sidang Umum MPRS. Saya diberi tahu yang berwajib bahwa BK tidak bisa mengunjungi saya pada tanggal 21 itu. BK ternyata juga tidak bisa datang pada hari-hari selanjutnya, padahal saya harus berangkat ke Negeri Belanda pada 30 Maret 1968. Terpaksa pemasangan tambalan emas pada gigi BK saya percayakan kepada rekan sejawat saya.
Walaupun setelah itu paling sedikit sekali setahun saya pulang ke tanah air, saya tidak pemah melihat BK kembali. (Intisari)
Penulis | : | Nur Resti Agtadwimawanti |
Editor | : | Nur Resti Agtadwimawanti |
KOMENTAR