Intisari-Online.com - Jay J. Armes, Investigator. Begitu judul buku karya Frederick Nolan. Membaca buku ini seperti tercerahkan. Pada usia 11 tahun Armes kehilangan kedua tangannya. Namun ia berpikiran positif. Baginya cacat bukanlah alasan untuk berputus asa. Ia malah ingin lebih berkarya. Simaklah kisahnya yang ditulis dalam beberapa seri ini.
Armes kecil merupakan pribadi yang sangat ambisius. Tekadnya besar. Mentalnya kuat. Julian Armas, begitu nama kecilnya, melakukan empat pekerjaan sekaligus saat usia 11 tahun. Ia bangun pukul 04.30 untuk mengantarkan koran. Setelah itu ia pergi ke seorang petani untuk memberi makan 60 ekor anak sapi. Pulang sekolah ia mengantarkan koran lagi dan kembali ke petani yang mempekerjakan dia. Setelah makan malam ia bekerja di bioskop.
Sejak kecil ia memang diajarkan oleh ayahnya yang bekerja di sebuah toko makanan untuk berdikari. Selain mengantar koran, ia menjadi rentenir. Pada permulaan minggu ia meminjakan uang 25 sen dan pada akhir minggu ia minta kembali 50 sen. Hasilnya lumayan. Kegiatan itu membuatnya ia bersikap tegas. Namun pihak sekolah mengetahui hal itu dan melarangnya.
Umur 13 tahun ia sudah tahu tujuan hidupnya: menjadi dokter. Ia kenal seorang dokter di dekat rumah, yang selalu memberi jawaban kalau Armes bertanya soal-soal medis. Bahkan ia boleh melihat saat dokter itu melakukan operasi kecil-kecilan. Menurut sang dokter, ia mempunyai bakat untuk menjadi ahli bedah. Armes pun mulai membayangkan diri sendiri dengan penutup mulut di depan meja operasi. Namun cita-cita itu terkoyak dengan kejam.
Inilah penuturan Armes soal kecelakaan yang membelokkan cita-citanya.
Hari naas
Saya masih ingat dengan jelas. Pada suatu malam sejuk di bulan Mei 1949 (Jay J Armes lahir di El Paso, Texas, 12 Agustus 1932 - Red.) saya bermain-main di kebun seorang teman yang lebih tua, Dickie Caples. Teman itu berusia 18 tahun dan orangtuanya berada. Dickie bahkan mempunyai mobil sendiri, yang tentu menjadi bahan iri hati bagi rekan-rekannya. Saya juga, tetapi mungkin berkat mobil itu saya masih hidup.
Pada malam itu kami bermain dengan sisa peluru yang ditinggalkan oleh orang-orang dari dinas kereta api. Dengan alat pemukul kami mencoba untuk membuka peluru itu. Tiba-tiba seperti ada granat yang meletus di tangan saya. Waktu sadar, saya sudah berada dekat sebuah pohon, padahal sebelumnya saya berada pada jarak 6 m dari pohon itu. Saya mencoba untuk memeluk pohon itu, tetapi lepas terus. Saya belum insaf bahwa saya tidak bertangan lagi.
Dengan susah payah saya berhasil berdiri. Baru saat itu saya melihat bahwa saya berlumuran darah. Saya melihat Dickie lari. Saya kira dia mencari bantuan, tetapi ternyata ia lari karena ketakutan. Saya berusaha untuk mengejarnya, tetapi tidak berhasil. Saya menjadi ketakutan.
"Dickie tolong!" teriak saya. "Ambil mobilmu. Antar saya ke dokter di Ysleta."
Dengan lambat ia menengok dan melihat saya dengan muka tercengang. "Apa ...?" ia tergagap. Mungkin ia kaget melihat saya.
Baru ia insaf. Ia lari ke mobilnya dan membuka pintunya. Saya masuk ke mobilnya, tetapi ia takut melihat ke tangan saya. Sakitnya bukan main. Darah menyembur ke kaca depan, sehingga Dickie terpaksa harus mengusapnya dengan tangannya. Pada saat kami sampai ke dokter, ia sudah berlumuran darah seperti saya.
Kami bergegas masuk ke ruang praktik. Seorang wanita hamil sedang menunggu gilirannya. Ketika melihat saya, matanya melotot, lalu ia jatuh pingsan. Karena kehilangnn banyak darah, rasanya kepala saya ringan.
Dokter Delgado kelihatan marah ketika pintunya dibuka, namun ketika melihat saya ia menjadi pucat. Ia memeriksa keadaan saya dan mengatakan kepada orangtua saya bahwa kedua tangan saya perlu diamputasi sampai di atas pergelangan. Tidak ada jalan lain. Untuk itu ia perlu izin.