Intisari-Online.com - Belakangan, jumlah perusahaan yang melakukan penahan ijazah karyawan terus meningkat.
Sebetulnya, bolehkah perusahaan menahan ijazah karyawan?
(Baca juga:Lucu, Perusahaan Jepang Ini Membuat Baju Samurai Khusus untuk Kucing dan Anjing)
Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan, tidak ada aturan yang membolehkan perusahaan menahan surat-surat berharga milik karyawan, termasuk ijazah.
Kalau perusahaan nekat, maka itu melanggar hukum.
Sebetulnya, hukum ketenagakerjaan di Indonesia tidak mengatur tentang penahan ijazah ini.
Akan tetapi, dalam beberapa kasus tindakan itu diperbolehkan. Alasannya, adanya kesepakatan antarkedua belah pihak.
Kesepakatan itu kemudian dituangkan dalam perjanjian kerja yang mengikat karyawan dengan perusahaan dalam hubungan kerja, baik secara lisan maupun tertulis.
Artinya, penahanan ijazah oleh perusahaan diperbolehkan selama ada kesepakatan antarkedua belah pihak, yakni karyawan dengan pemberi kerja dan masih terikat dalam hubungan kerja.
Jika terjadi penahanan ijazah, karyawan jadi pihak yang paling dirugikan.
Karyawan kehilangan kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih baik dan membayar penalti sebagai uang tebusan untuk mendapatkan ijazah kembali bilamana mengundurkan diri sebelum masa kontrak berakhir.
Yulius Setiarto, konsultan hukum dari Setiarto dan Pangestu Law Firm di Jakarta mengatakan, hak menahan ijazah karyawan sebetulnya lahir dari perjanjian atau kesepakatan kerja bukan peraturan ketenagakerjaan.
Kesepakatan antarkedua belah pihak itulah yang membuat kontrak kerja beberapa perusahaan sering kali melanggar hukum bahkan merugikan hak-hak karyawan.
Menurut Yulius, penahanan ijazah, bukan solusi yang bijak sebagai jaminan kontrak kerja atau cara membuat karyawan bertahan lama di perusahaan.
Sebab, hal itu tidak hanya merugikan karyawan, namun juga perusahaan. Bilamana sewaktu-waktu ijazah itu hilang, rusak, dan terkena bencana, maka perusahaan dapat dituntut balik oleh karyawan.
(Baca juga:Perbedaan Hak Pesangon Bagi Pekerja yang Resign dan di-PHK)
Oleh sebab itu, Yulius mengingatkan, kepada para karyawan agar berhati-hati terhadap kontrak kerja yang berdasarkan kesepakatan bersama, bukan berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan.
Sebab, risikonya jauh lebih besar dan cenderung merugikan karyawan.