Mengapa Orang Berani Berkomentar Kasar di Internet?

Thomas Raymond P. S.

Editor

Mengapa Orang Berani Berkomentar Kasar di Internet?
Mengapa Orang Berani Berkomentar Kasar di Internet?

Intisari-Online.com -Oleh Thomas Raymond Pandapotan Sitorus,sarjana Psikologi Universitas Indonesia lulusan 2016.Jika kita perhatikan cara kita memakai media sosial di internet saat ini terbuka banyak sekali ruang untuk memberikan komentar. Di berbagai grup WhatsApp keluarga, grup Facebook angkatan saat sekolah, ataupun artis favorit di Twitter, selalu ada hal yang bisa kita komentari dari berbagai kegiatan yang orang bagikan di media sosial tersebut.Terkadang di LINE bisa kita temukan orang-orang membagikan (share) artikel ataupun kisah seseorang yang berisi keluh kesah mengenai GoJek yang mereka naiki atau perilaku Awkarin yang terbaru di mana hal-hal tersebut mengundang kita untuk memberikan respon tertentu berkaitan dengan kisah yang mereka bagikan.Sebelum ikut berkomentar biasanya kita akan melihat respon lain dari orang-orang yang membaca artikel di LINE tersebut dan kita dapat menemukan begitu beragamnya komentar-komentar yang diberikan oleh orang-orang tersebut.

Yang menarik perhatian dari komentar-komentar oleh orang lain tersebut adalah banyaknya komentator yang saling berdebat di kolom komentar artikel tersebut. Isinya tak jarang hanya berupa adu debat sengit yang saling menjatuhkan, tetapi seringkali juga muncul komentar-komentar yang bernada kasar yang bahkan bisa menggunakan kata-kata kasar kebun binatang.Tidak jarang kita menemukan seseorang mengumpat kepada komentator lain karena berbeda pendapat yang kemudian membawa sentimen-sentimen rasis seperti agama maupun ras, dan bisa juga hal-hal yang tidak ada kaitannya seperti “antek-antek Yahudi” pun dibawa-bawa.

Hal ini mengundang pertanyaan, bagaimana seseorang berani melakukan hal tersebut? Padahal komentar kasar tersebut diucapkan di ranah publik, di media sosial di mana hampir siapapun dapat membaca komentar kasar miliknya.Hal ini oleh Papacharissi (seorang sarjana komunikasi yang karyanya telah membantu mendefinisikan bidang komunikasi politik di era media digital kontemporer) dianggap terkait dengan kondisi bahwa identitas diri pemberi komentar kasar atau negatif tidak banyak diketahui orang.Kondisi ini membuat seseorang lebih berani berkata-kata kasar di tempat tersebut karena anggapannya orang-orang tidak begitu mengenal dia dan tidak dapat memberi sanksi yang keras terhadap dirinya.

Patut dicermati bahwa identitas (nama, alamat, kontak, dsb.) seseorang saat memberi komentar di berbagai media sosial seperti LINE, Youtube, Twitter, dan juga Facebook sangat terbatas untuk diakses oleh orang lain. Seseorang pun dapat sewaktu-waktu mengganti identitasnya di media sosial tersebut, seperti yang dijelaskan di Whispers in the dark: Analyzing an anonymous social network. In Proceedings of the 2014 conference on Internet measurement conference..Situasi ini membuat seseorang dapat membuat dirinya diketahui hanya sebatas nama saja dan juga secara keseluruhan identitasnya dapat tidak diketahui sama sekali. Oleh Suler dalam "Identity Management in Cyberspace"situasi ini akan menimbulkan online disinhibition atau fenomena perilaku online di mana seseorang merasa terlepas dari berbagai standar moralnya dan dapat berperilaku sesukanya tanpa mendapat banyak sanksi dari orang lain.

Komentar-komentar kasar ini tentu tidak enak untuk dibaca di ranah publik seperti sosial media tersebut, dan kita dapat membantu mengurangi munculnya perilaku-perilaku tersebut.Hal pertama tentunya dengan tidak ikut memberikan komentar bernada kasar atau rasis sambil mengingatkan jika ada komentator kasar agar turut memberikan komentar yang relevan dan membantu diskusi yang membangun agar bermanfaat bagi semua para komentator lain.Jika masih membandel juga kita dapat melaporkan komentar-komentar seperti itu kepada admin situs, karena beberapa media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Youtube memfasilitasi pengguna untuk melaporkan jika ada komentar yang dianggap mengganggu ataupun menyerang pihak-pihak tertentu.Sumber:Papacharissi, Z. (2004). Democracy online: Civility, politeness, and the democratic potential of online political discussion groups. New media & society, Vol6(2):259–283Suler, J. R. (2002). Identity Management in Cyberspace. Journal of Applied Psychoanalytic Studies, Vol. 4 (4), 455-459Wang, G., Wang, B., Wang, T., Nika, A., Zheng, H., & Zhao, B. Y. (2014). Whispers in the dark: Analyzing an anonymous social network. In Proceedings of the 2014 conference on Internet measurement conference. ACM.